Buku · Review

Sepercik Riak Untuk Gelombang

Supernova: Gelombang

 

Judul: Supernova: Gelombang

Penulis: Dee Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

ISBN: 978-602-291-057-2

Harga: Rp 79.000,-

Tahun Terbit: Oktober 2014

Tebal: 492 halaman

 

 

Sejujurnya, penilaian untuk Gelombang tidaklah murni 5 bintang. Saya memberikan 4.75, sedikit lebih rendah dari Partikel atau Petir. Ada sesuatu “kekosongan”, yang sulit dijabarkan, yang membuat Gelombang belum mencapai sempurna.

Seperti biasa, untuk kesekian kalinya, saya tidak akan bosan mengulang prolog yang sama setiap kali memberikan komentar untuk seri Supernova. Pertemuan saya dengan Supernova terbilang baru seumur jagung. Dibandingkan penggemar Dee yang telaten menunggu hingga bertahun-tahun, saya hanyalah butiran debu. Awalnya justru saya cenderung skeptis dan apatis dengan euforia Supernova.

Tapi, sialan, tidak sampai setahun melahap habis semua serinya, termasuk Gelombang, saya benar-benar resmi menjadi butiran debu! Saya terjatuh, tenggelam, hingga tersesat-dan-tak-tahu-arah-jalan-pulang sejak membaca buku pertama. Dan sialnya (lagi), sekarang saya sudah dalam tahap adiksi dan kepalang sakau menunggu Intelegensi Embun Pagi.

Dee dan Supernova-nya memang selalu magis dan menghipnosis. Ketika memangku Gelombang untuk pertama kalinya, saya bahkan sampai menggelinjang. Gugup dan haru menyatu. Norak, memang. Seperti mau kencan pertama saja. Oke, ini berlebihan, tapi sekaligus sungguhan.
Lanjutkan membaca “Sepercik Riak Untuk Gelombang”

Buku · Review

Hanif, Panggung Permenungan dan Pencarian

Hanif: Dzikir dan Pikir

 

Judul : Hanif

Penulis : Reza Nufa

Penerbit : DIVA Press

Tahun Terbit : 2013

Tebal : 384 halaman

ISBN : 978-602-7933-46-0

 

 

“Tuhan ‘kan Maha Bisa. Nah, bisa nggak Tuhan bikin batu yang karena batu itu Dia justru gak bisa lewat?”

Dua orang pemuda memperdebatkan Tuhan di hadapan seporsi sate kambing. Mereka membahasnya dengan santai, seolah topik yang dibicarakan tidak lebih berat ketimbang pertandingan sepak bola.

Begitulah novel ini dibuka. Tanpa basa-basi terlebih pretensi. Agama dan Tuhan, bagi Hanif juga Idam, bukanlah bahan baru dalam obrolan mereka. Di saat kebanyakan orang menganggap kedua hal itu tabu, mereka justru semakin gerah untuk mencari tahu.

Sejak bocah, kedua sahabat ini telanjur akrab dengan perbincangan seputar ketuhanan. Tepatnya, Hanif meracaukan segala kegelisahannya, dan Idam akan selalu siap menyediakan telinganya. Entah apa yang menjadi sumber keresahan Hanif. Latar belakang itu tidak dijelaskan secara kentara. Yang jelas batinnya kian berkarut dari hari ke hari.

Ketika remaja seusianya keasyikan memikirkan cinta, Hanif malah sibuk mencari akar agama. Ketika anak muda lain masih linglung menentukan cita-cita, Hanif telah berkutat dengan masa depan negara. Setelah enam tahun menimba pengalaman di pondok pesantren, kemudian kuliah di universitas berbasis agama, dahaga Hanif akan kebenaran hakiki belum juga terpuaskan. Sebaliknya, ia semakin dirundung kekalutan.

Hanif tidak hanya rajin bertanya, tetapi juga tak sungkan membuka diskusi dengan siapa saja. Termasuk ayahnya, seorang pemuka di kampung mereka. Bisa diduga, sang ayah yang terbilang konservatif dalam beragama tidak bisa menerima pemikiran Hanif yang mendobrak sekat-sekat keimanan.

Lanjutkan membaca “Hanif, Panggung Permenungan dan Pencarian”

Buku · Review

Tenggelam di Relung Rasa Raisa

Relung Rasa Raisa

 

 

 

 

Judul: Relung Rasa Raisa

Pengarang: Lea Agustina Citra

Penerbit: PlotPoint

Tahun Terbit: 2014

Tebal: 320 halaman

Harga: Rp 49.000,00

ISBN: 978-602-9481-54-9

 

 

 

Semua butuh kesempatan kedua, begitulah tagline yang terpampang di halaman muka Relung Rasa Raisa. Namun, bagaimana jika perjalanan meraih kesempatan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati? Tak pelak kita pun harus memilih: bertahan atau menyerah begitu saja. Melalui buku ini, Raisa Nathaya Candrakirana akan mengajak kita menyelami kedalaman relung rasanya. Plus, memberikan pelajaran bahwa kepahitan masa lalu bukanlah alasan untuk berhenti maju.

Demi menyelamatkan eksistensi kantornya, Raisa—editor senior di AhA Publishing—rela melakukan perjalanan panjang ke Negeri Hitler. Sayang, agenda kerjanya yang telah disusun rapi harus bubar di tengah jalan. Misi untuk mendapatkan hak terbit Cedar Incense—novel best seller tentang kerusuhan Mei 1998 karya Jan Marco—ternyata mengantarkan Raisa pada konflik-konflik yang pelik. Di saat bersamaan, tatanan kehidupan yang telah dibangunnya dengan susah payah juga terpaksa mengalami perombakan total—setelah keping-keping masa lalunya mendadak muncul melalui sosok Augusto Caesar Soeprobo.

Otomatis, target Raisa kini tidak lagi sebatas mengikuti Frankfurt Book Fair, berburu copyrights buku-buku bermutu, dan pulang dengan kontrak bernilai ratusan juta rupiah. Ia harus bergelut dengan kompleksitas kehidupan pribadinya. Raisa pun harus memilih antara memperbaiki masa lalu atau terus mengabaikan takdir itu. Lanjutkan membaca “Tenggelam di Relung Rasa Raisa”

Leisure · Mendaki Bukittinggi

Menapaki Eksotika Alam dan Sejarah Bukittinggi  

Ranah Sumatra seolah menyimpan pesona yang tak ada habisnya untuk dijelajahi. Berjarak sekitar sembilan puluh kilometer dari Kota Padang, Bukittinggi merupakan alternatif destinasi liburan yang menarik. Ibarat restoran, kota itu menyajikan paket lengkap yang kaya varian, mulai dari wisata alam, sejarah, kuliner, bahkan belanja.

Untuk menuju Bukittinggi, tersedia beberapa opsi. Bila ingin tiba dengan cepat, pelancong dapat mengambil penerbangan ke Kota Padang kemudian melanjutkan perjalanan dengan taksi, Damri, atau mobil travel.

Ketika menyambangi kota bersejarah itu, saya dan teman-teman memilih untuk mengambil jalur darat yang menantang. Menjajaki jalur lintas Sumatra memang sungguh menguji iman. Bukan hanya karena waktu tempuh yang lama atau kondisi medan yang terjal, melainkan juga karena moda transportasi yang kami gunakan.

Kami menumpang bus ekonomi non-AC SAN Travel jurusan Bengkulu—Bukittinggi selama sekitar delapan belas jam. Pengalaman naik kendaraan kelas ekonomi jarak jauh kali itu merupakan yang pertama sepanjang hidup saya. Praktis, saya harus beradaptasi ekstra keras dengan suasana bising, udara pengap, dan kepulan asap rokok yang menyesaki bus. Setidaknya keadaan itu jauh lebih baik dari perkiraan saya sebelumnya. Tadinya saya berpikir sampai harus berbagi ruang dengan hewan ternak—yang katanya kerap menjadi penumpang ilegal di sana.

20140322_110011
Bus Ekonomi Sauna

Setelah hampir tujuh belas jam berada di dalam “oven berjalan”, akhirnya kami mendapatkan secercah udara segar. Waktu baru menunjukkan pukul lima pagi ketika bus memasuki wilayah Padang Panjang yang sejuk. Namun, begitu sampai di mulut Kota Bukittinggi, terjadi perubahan hawa yang cukup ekstrem. Angin dingin khas dataran tinggi mulai menggigit, apalagi bus yang kami tumpangi melaju dengan kencang. Seolah itu belum cukup, tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, kondektur membuka seluruh jendela di dalam bus. Kontan saja seluruh penumpang sibuk menghangatkan diri dengan cara masing-masing.  

Tidak sampai satu jam kemudian, bus merapat di Terminal Aur Kuning. Puluhan agen travel dan supir taksi langsung berlomba-lomba menawarkan jasanya. Dibantu oleh seorang pegawai SAN Travel, akhirnya kami mendapatkan taksi dengan tarif yang terbilang manusiawi. Jalanan di pusat kota pada hari Minggu pagi sangatlah sepi. Kami hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk sampai di penginapan.

Ada beragam jenis tempat bermalam di Bukittinggi, mulai dari hotel melati hingga bintang lima. Berbekal informasi dari internet, kami memilih Hotel Limas sebagai tempat menginap selama tiga malam. Saya sangat merekomendasikan hotel bintang tiga ini untuk low budget traveler yang tetap mengutamakan kenyamanan. Meskipun usianya sudah tua, fasilitas di Hotel Limas masih terjaga dengan baik. Pelayanan yang memuaskan serta lokasi yang strategis juga menjadi nilai tambah. Plus, di waktu-waktu tertentu, tamu bisa mendapatkan potongan harga mencapai 30%.

Lanjutkan membaca “Menapaki Eksotika Alam dan Sejarah Bukittinggi  “

Buku · Review

Manis Legit Jatuh Cinta Diam-Diam

 Judul Buku : Jatuh Cinta Diam-Diam

Penulis : Dwitasari

Penerbit : PlotPoint (Mizan Group)

Tebal : 217 halaman

Tahun Terbit : 2014

Harga : Rp 39.500,00

ISBN : 9786029481556

 

Kalau diibaratkan sepotong kue, buku ini jelas bukan jenis red velvet yang tampilannya menjanjikan kesan mewah. Bukan pula rainbow cake dengan lapisan kaya warna yang menarik mata. Pun, bukan cheese cake yang untuk membuatnya perlu trik khusus atau bahan-bahan spesifik. Saya merasa buku ini lebih mirip black forest. Klasik, sederhana, tapi selalu abadi untuk dinikmati.

Dwitasari amat pandai melihat peluang dengan mengetengahkan tema “jatuh cinta diam-diam”. Siapa yang tidak pernah merasakan cinta terpendam atau sekedar memilih untuk mengagumi dalam diam? Hampir semua orang pernah begini nggak, sih? Merasakan jatuh cinta diam-diam seperti mencicipi potongan black forest.  Ada manis yang bercampur dengan sekelumit rasa pahit, bahkan ada sensasi masam ketika tak sengaja menggigit ceri di dalamnya. Lembut dan legit ketika mengulumnya, tetapi kadang terantuk serpihan cokelat yang tajam.

Melalui 14 cerita pendek bertema sama, omnibook ini merefleksikan kenyataan yang sering terjadi dalam relasi antarmanusia.

Memilih untuk diam, memperhatikan dari jauh, atau mendoakan diam-diam. Setiap orang punya caranya sendiri untuk jatuh cinta tanpa membaginya dengan orang yang dia cinta. Setiap orang juga punya cara sendiri untuk berbagi tawa dan menyembunyikan tangisnya sendiri.

Lanjutkan membaca “Manis Legit Jatuh Cinta Diam-Diam”

Film · Review

[Film Review] XXI Short Film Festival 2014

Sebut saya kurang update, tapi saya memang cukup terlambat mengetahui hal ini. Kalau siang itu saya tidak membuka jejaring sosial, mungkin saya akan melewatkan kesempatan ini lagi. Entah karena publikasinya yang kurang masif atau saya yang tidak aktif. Sejak tanggal 3 Juli 2014, beberapa bioskop jaringan XXI memutar kompilasi film peraih penghargaan XXI Short Film Festival 2014. Ketika informasi itu tiba di telinga saya, tinggal satu bioskop yang masih menempatkan film tersebut dalam daftar tayangannya. Entah karena memang sudah kedaluwarsa atau tidak banyak bioskop yang mau memberikan slot untuk film-film semacam ini.

Sebenarnya saya menyukai film Indonesia. Dengan catatan, bukan film yang menjual perempuan-perempuan absurd–baik yang masih hidup dan masih bisa menggunakan pakaian seksi maupun yang sudah berwujud kuntilanak. Maka saya sangat menyayangkan ketika film ini cukup cepat berlalu dari bioskop-bioskop di ibu kota.

Film pendek pertama bercerita tentang pertemuan Handi dan Genda di sebuah kedai kopi. Tidak banyak plot yang terjadi. Cerita berpusat pada perbincangan antara kedua tokoh–Genda yang resah dan Handi yang gemar menggunakan metafora. Saya menikmati film ini dengan kerutan-kerutan di kening. Di satu sisi saya terpukau dengan diksi sophisticated yang meluncur mulus dari mulut Handi, tapi di sisi lain saya kesulitan menebak-nebak absurditas pikiran Genda. Film berjudul Horison ini mengajak penonton untuk larut dalam kisah seraya menebak-nebak jalan cerita. Ketika keluar dari ruang teater, saya pun belum bisa menduga korelasi antara perumpaan Handi (tentang  biru-laut-ikan) dan hubungan Genda-Andre yang tak direstui orang tua.

Asiaraya menjadi film kedua yang berada dalam daftar kompilasi. Ide cerita yang dituangkan oleh para sineas-nya boleh diacungi jempol. Mereka mencoba mengisi kisah-kisah yang kosong pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Dengan alur yang tertata, Asiaraya mencoba menjelaskan bahwa kemerdekaan negara tidak lepas dari bantuan pihak lain–pihak yang sekaligus menjajah kita. Seorang jenderal Jepang ternyata juga memiliki dedikasi untuk memperjuangkan kebebasan Indonesia. Uniknya, film ini dibuat dalam bentuk animasi. Saya jadi terpikir, mungkin Indonesia harus lebih banyak memproduksi film-film animasi bertema sejarah. Hal itu bisa menjadi alternatif media pembelajaran–bukan cuma buat anak-anak tapi juga orang dewasa yang terkadang amnesia terhadap masa lalu.

Film pendek ketiga, Akar, rupanya adalah sebuah dokumenter mengenai kehidupan keluarga Tionghoa di Pulau Jawa. Awalnya saya pikir film ini akan terus menerus menyoroti kehidupan sehari-hari keluarga Amelia Hapsari (sang pembuat film). Rupanya, dibalik dialog-dialog dan adegan nyata itu, ada pesan penting yang hendak disampaikan. Keluarga ini memang memiliki relasi langsung dengan negeri Tiongkok. Kakek nenek Amelia datang langsung dari daratan Cina untuk kemudian menikah dan menciptakan keturunan yang terus beranak pinak. Kini, sekalipun memiliki rupa yang berbeda dengan warga pribumi, tak pernah sekalipun tebersit keinginan untuk kembali ke negeri asal leluhur mereka. Bagi mereka, Indonesia adalah rumah–tempat yang selalu membuat mereka ingin pulang. Seperti yang dikatakan salah satu tokoh di film itu, “Balik nang Indonesia wae, paling enak nang Indonesia.”

XXI Short Film Festival 2014

Lanjutkan membaca “[Film Review] XXI Short Film Festival 2014”

Buku · Review

Meretas Teka-Teki Dalam Sebuah “Fantasy”

“True friendship is of greater worth than words, though they were solid gold.

To all the glittering gems of earth, I it prefer, a thousand fold.

One friend I have who knows my heart, and loves me with a changeless love;

I love Him, too—nor death can part us two, for we will love above”

(Friendship by Joseph Horatio Chant)

 

Fantasy - Novellina Apsari

Judul            : Fantasy

Pengarang  : Novellina Apsari

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Kategori      : Fiksi (MetroPop)

Tebal            : 312 halaman

Terbit           : April 2014

Harga           : Rp 62.000,00

ISBN             : 9786020303550

 

 

Ketulusan Davina untuk menembus jarak ribuan mil menuju kota Tokyo bukanlah tanpa alasan. Berbekal harapan dan impian-impian yang nyaris pupus, Ia memberanikan diri untuk menemui Awang. Siapa sangka, setelah tujuh tahun berlalu, beruang cokelat kesayangannya itu telah bertransformasi menjadi seorang Indonesian brilliant pianist!

“Aku akan menemuinya, satelit yang telah keluar dari orbitku, dan kini menjadi planet yang megah, besar, dan benderang.”—Davina (hlm. 138)

Pertemuan itu tidak hanya mengembalikan kenangan dan cinta—yang sesungguhnya memang tidak pernah punah—di antara mereka, tetapi juga menjadi titik awal dari sebuah perjalanan mengejar mimpi. Mimpi yang bukan hanya menjadi milik Awang dan Davina, melainkan juga Armitha—sosok yang begitu melekat dalam kehidupan mereka.

Perjuangan menggapai mimpi itu sekaligus menjadi momentum yang menguji kekuatan cinta dan persahabatan mereka bertiga. Tidak ada yang pernah berkata bahwa meraih cita-cita adalah perkara yang mudah. Lantas, sejauh apa mereka mampu bertahan memperjuangkan ego, idealisme, dan impiannya masing-masing?

Dari Surabaya, Tokyo, Singapura, Paris, Berlin, hingga Wina, mereka berlari menyambut mimpi, mencoba membuktikan bahwa mimpi tidak terlalu jauh untuk digapai selama mereka selalu melangkah untuk meraihnya. 

Kepingan Puzzle

Ketika pertama kali melihat judulnya, saya mengira novel ini adalah sebuah kisah bergenre fantasi atau—lebih gilanya lagi—science fiction. Apalagi didukung dengan ilustrasi (semacam) taburan star dust dari piano mungil di bawah kover. Ternyata, tebakan saya salah total! Sampul buku ini justru sangat berkelindan dengan isi cerita yang beraliran roman. Semua yang tertuang di halaman muka adalah representasi isi di dalamnya: piano, simbol the key of G yang menyaru pada judul, serta kutipan puitis tentang cinta dan kepercayaan.

 “Love doesn’t conquer all, faith does”

Lanjutkan membaca “Meretas Teka-Teki Dalam Sebuah “Fantasy””

Buku · Review

By Your Side: Tentang Cinta Yang Selalu Bersedia Menunggu  

“Cinta berarti kesediaan untuk menghormati cita-cita satu sama lain.”—Bulan Nosarios

 

Cover By Your Side
Judul By Your Side
Pengarang Bulan Nosarios
Penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Terbit Mei 2014
Tebal 296
HargaISBN Rp 60.000,009786020304519

Kania adalah seorang dokter muda yang menyimpan impian besar untuk masa depannya. Jadi tidaklah mengherankan jika setiap rencana dalam kehidupannya selalu tersusun rapi dan penuh presisi.

 “Tidak ada dalam rencananya untuk jatuh cinta saat cita-citanya masih jauh.” (hal. 49)

Bukan berarti Kania egois atau terlampau berambisi, ia hanya tidak ingin seseorang yang menjadi pasangannya merasa terabaikan di kemudian hari. Gadis itu sadar betul bahwa profesinya menuntut ritme kerja yang terkadang sulit diterima akal sehat. Maka, walaupun perasaan itu telah merayapi hatinya selama bertahun-tahun, ia memilih untuk tidak mengindahkannya—bahkan ketika sosok yang menjadi pusat dari segala kegamangannya itu memilih untuk tidak lagi tinggal.

Erga memang nyaris berada di titik nadir ketika ia memutuskan untuk pergi. Satu windu bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu, lebih-lebih jika kenyataan selalu memaksanya untuk mengubur asa. Menurutnya, bermimpi untuk memiliki Kania sama dengan mengacaukan rancangan hidup gadis itu. Meski berat dan menyesakkan, Erga memilih untuk meredam mimpinya sendiri demi cita-cita Kania.

Hubungan mereka yang tadinya berlabel persahabatan perlahan-lahan berubah menjadi “tak terdefinisikan”. Keduanya sama-sama menyimpan harapan yang tidak pernah berhasil tersampaikan. Hingga akhirnya waktu juga yang menjadi penentu.

“Kania percaya pada Erga. Tapi ia tidak percaya pada waktu. Waktu akan mengubah mereka. Waktu akan membuat mereka bosan. Waktu akan menghadirkan orang lain dalam kehidupan mereka, menuntut cinta yang lain. Dan apakah ia bisa bertahan dengan semua kerumitan itu?” (hal. 183-4)

Orang-orang ketiga datang dan pergi, tetapi belum ada yang berubah di antara Kania dan Erga. Di antara detik-detik yang terus melaju, satu per satu dari mereka kemudian tersadar akan sesuatu. Waktu memang akan terus berlalu, tetapi cinta sejati selalu punya alasan untuk menunggu. Lanjutkan membaca “By Your Side: Tentang Cinta Yang Selalu Bersedia Menunggu  “

Buku · Review

Merestorasi Definisi Pulang Dalam Balutan Sejarah

Pulang: Sebuah Novel

Judul Buku :  Pulang
Jenis  :  Fiksi (Novel)
Penulis :  Leila S. Chudori
Penerbit :  KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal : 464 halaman

“Pada akhirnya, dalam Novel ini kita mendapatkan dua jenis ‘gerak kembali’, persis sebagaimana yang dikatakan Ernst Bloch dalam The Principle of Hope mengenai dua jenis ‘pulang’.” —Robertus Robet, Dosen Sosiologi UNJ.

Saya adalah seorang penganut prinsip “save the best for the last”. Saya selalu percaya bahwa semua hal yang—menurut saya—paling baik, patut mendapat tempat di urutan akhir. Hal ini juga berlaku dalam memilih bahan bacaan. Saya cenderung menyimpan buku yang saya anggap sangat baik, alih-alih segera membacanya, karena merasa sayang jika harus cepat-cepat menghabiskannya.

Inilah yang terjadi dengan “Pulang: Sebuah Novel”. Sejak memiliki buku ini pada awal tahun lalu, baru dua hari kemarin saya memutuskan untuk benar-benar menyerah kepadanya. Dan benar saja, setelah semuanya selesai saya justru merasa kosong dan hilang arah. Setiap elemen dari buku ini, saya rasa, serupa madat yang mampu mencandui pembacanya.

Nostalgia Sejarah Yang Memikat

Entah kenapa saya selalu tertarik dengan fiksi yang dibumbui dengan unsur sejarah. Maka ketika “Pulang” dirilis, saya tidak bisa menahan diri untuk membaca sekaligus membandingkannya dengan karya-karya serupa.  Jika diminta untuk membandingkan dengan gubahan penulis lain yang pernah saya baca (Amba , Gema Sebuah Hati , dan Map of The Invisible World), saya akan mengatakan bahwa Pulang adalah yang terbaik di antara semuanya.

Namun, ada satu hal yang sangat menarik dari buku ini. Bukannya ingin mengada-ada atau sok tahu menarik benang merah, tapi saya cukup heran karena (lagi-lagi) menemukan unsur cerita Mahabharata dalam novel ini–sama seperti Amba. Apakah buku-buku semacam ini lantas memiliki keterkaitan dengan epos klasik itu?

“Pulang” adalah sebuah paket lengkap. Ada nilai sejarah dan juga romansa di dalamnya. Plus, unsur kontemplasi yang terselip tanpa kesan menggurui. Leila S. Chudori mampu mengemas sirkus politik yang mengerikan ke dalam roman yang memukau.

Novel ini dibuka dengan narasi memikat dari diksi-diksi yang padat, tetapi tidak membuat penat. Cerita bermula dari sebuah kamar gelap Tjahaja Foto di sudut Jalan Sabang dengan Hananto Prawiro sebagai pusat cerita. Di babak selanjutnya, pembaca digiring pada keriuhan di Paris tahun 1968 dari kacamata seorang Dimas Suryo. Setelah itu, kisah ini berlanjut dengan alur maju mundur dan sudut pandang yang terus berpindah. Penulis bolak-balik menjadi “aku” untuk beberapa tokoh berbeda dan menggunakan latar waktu yang berubah-ubah.

Meskipun ada begitu banyak “aku” dalam buku ini, saya tidak dibuat kebingungan. Penulis sangat piawai berganti peran dengan cara yang mulus dan rapi. Setiap tokohnya memiliki karakter yang berbeda, tetapi dibawakan dengan sama kuat. Jelas sekali bahwa Leila S. Chudori sangat mendalami setiap tokoh yang dia buat. Bahkan di antara satu “aku” dengan lainnya, terasa aura yang berbeda.

Tidak hanya terampil dengan penokohan, Leila S. Chudori juga sangat mahir memainkan mesin waktu. “Pulang” berkutat pada tiga peristiwa penting dalam sejarah, yakni G30S PKI tahun 1965 di Indonesia, gerakan mahasiswa di Paris pada Mei 1968, serta momentum reformasi tahun 1998. Uniknya, Leila tidak menceritakan ketiga momen itu secara linear. Ia seringkali berpindah latar waktu dengan cara yang tidak diduga-duga, misalnya dengan secarik surat usang atau kilas balik memori salah satu tokoh. Meskipun begitu, semua transisi waktu ditampilkan nyaris tanpa aral hambatan.

Lanjutkan membaca “Merestorasi Definisi Pulang Dalam Balutan Sejarah”

Eksplorasi Negeri Sejuta Pelangi · Leisure · Poet-o-Graph · Review · The Journals in Bumi Belitong

Eksplorasi Negeri Sejuta Pelangi: Jelajah Objek Rahasia

Saya bukan tipikal pelancong yang mau mengulang pengalaman bepergian yang sama untuk kedua kalinya. Buat saya itu  seperti inefisiensi besar-besaran. Kenapa harus menuju ke objek yang sama kalau ada petualangan baru menunggu di titik lain?

Tapi prinsip itu langsung buyar ketika sebuah tawaran menarik sampai kepada saya beberapa waktu lalu. Sebuah liburan “gratis” ke Pulau Belitung, tempat yang pernah saya kunjungi dua tahun lalu. Praktis, kesempatan ini merupakan kali kedua saya melakukan Eksplorasi Negeri Sejuta Pelangi.

***

Hari itu (lagi-lagi) saya mengambil penerbangan paling pagi menuju Bandar Udara H A S Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Saya selalu percaya bahwa pemilihan waktu penerbangan yang tepat adalah awal yang baik untuk memulai liburan. Pukul 06.55 WIB saya sudah mendarat di negeri laskar pelangi dan siap memulai eksplorasi kedua di tempat itu. Berhubung beberapa objek sudah pernah saya deskripsikan disini, sekarang saya hanya akan mengulas tempat lain yang tidak kalah mengesankan. Dan yang terpenting, objek-objek ini relatif jarang dikunjungi oleh wisatawan sehingga perjalanan kali ini semakin terasa istimewa.

Lanjutkan membaca “Eksplorasi Negeri Sejuta Pelangi: Jelajah Objek Rahasia”