Kicau Kacau

Belajar Menulis Dan Mengembalikan Kewarasan

Jangan tanya berapa lama waktu yang saya habiskan untuk membuat tulisan ini. Sepanjang proses menulis, jari-jari saya hanya sibuk berkutat pada siklus backspace-spasi-enter-backspace. Writer’s block? Saya bahkan tidak berani meminjam istilah tersebut. How dare you say “writer’s block” if you’re not a writer (anymore)?

Sejak postingan terakhir di bulan Maret 2015, saya hampir tidak pernah lagi menyentuh blog ini. Awalnya saya menggunakan alibi susah sinyal sebagai pembenaran untuk rehat dari kegiatan menulis. Sepuluh bulan tinggal di sebuah desa di Kabupaten Banggai membuat saya terbiasa hidup tanpa media sosial. Lanjutkan membaca “Belajar Menulis Dan Mengembalikan Kewarasan”

Kicau Kacau

Hujan, KI Balut, dan Senyum Mereka

Langkah menjadi panutan. Ujar menjadi pengetahuan. Pengalaman menjadi inspirasi

Malam minggu kali itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya di Banggai. Rasanya seperti mau pergi kencan pertama. Ada eksitasi endorfin yang membuncah, bersamaan dengan percikan adrenalin yang sesekali meletup ringan.

Walaupun mood saya sempat dibuat berantakan oleh PLN yang hampir seharian mematikan listrik—sehingga pompa air tidak berfungsi lalu kami tidak bisa mandi karena kehabisan air dan seisi rumah menjadi kacau balau—rasa antusias itu tidak bisa diredam.

That would be the best Sat nite ever! Dalam hitungan jam saya akan bertemu orang-orang hebat, bergabung dalam sebuah acara hebat, dan memetik pengalaman hebat. Saya akan mengikuti Kelas Inspirasi Banggai Laut yang hebat!

Menjelang malam, setelah packing superkilat, saya berangkat ke kota Luwuk dengan sepeda motor. Semuanya berjalan lancar sampai tiba-tiba … BYURR!!! Hujan turun tiba-tiba dan memaksa kami berteduh di bawah pohon. Bukannya mereda, hujan justru semakin deras dan berangin. Teman saya, yang juga hendak mengikuti KI, langsung histeris dan mengajak pulang begitu melihat pakaian dan tas kami yang kian kuyup.

Seperti biasa, bocah plegmatis ini lantas berada di persimpangan. Antara mengikuti saran teman untuk pulang atau menjalani kata hati untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Lanjutkan membaca “Hujan, KI Balut, dan Senyum Mereka”

Kicau Kacau

Hai, Banggai!  

Seharusnya postingan ini sudah dipajang sejak beberapa waktu lalu. Tapi, keterbatasan akses internet memaksa saya terus menundanya.

Sudah hampir dua bulan saya berada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kurun waktu ini merupakan masa adaptasi yang lumayan menantang. Tidak jarang saya menggeragap ketika terbangun dari tidur. Kadang merasa berada di Jakarta, kadang seperti membaui aroma rumah dinas di Lebong.

Disorientasi. Entah kenapa perantauan kali ini terasa berbeda. Mungkin karena keberangkatan saya ke tempat ini lumayan mendadak. Mungkin juga karena jeda yang terlalu singkat antara masa internship dan bekerja. Entah harus senang atau sedih.

Saat ini saya lebih kangen Jakarta, rindu keluarga, sering memimpikan teman-teman, ingin cepat pulang, mau ini itu, dan sejuta hal manja lainnya.

Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai
Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai

Lanjutkan membaca “Hai, Banggai!  “

Kicau Kacau

Yang Tertinggal Dari Tahun Pertemuan  

Januari sudah berlalu separuh jalan. Semoga saja tulisan-tulisan yang bertema kaleidoskopis belum kelewat basi untuk dipajang di halaman blog.

Kalau mau dibandingkan, 2014 memang jauh lebih cerah ceria ketimbang 2013 yang dihujani ujian (dalam arti sebenarnya).

Dua ribu empat belas adalah tentang pertemuan. Saya bertemu bermacam-macam manusia yang datang dengan segala ciri dan motifnya. Orang baru ataupun lama. Yang menetap atau hanya singgah sejenak. Yang berlanjut dengan pertemanan atau berakhir dengan pertanyaan. Yang terlupakan atau lebih dulu melupakan. Yang semakin mendekat atau kian menjauh. Yang menciptakan kenangan atau minta diceburkan ke kubangan. Yang tiba-tiba menghilang setelah datang tanpa diundang. Dan terakhir dan paling menyentak, yang tiba-tiba datang setelah lama menghilang.

Saya lupa apakah saya sempat menulis resolusi pada awal tahun kemarin. Saya pun tidak tahu apakah tahun 2014 sudah berjalan sesuai dengan rencana. Tapi, buat saya 2014 sudah terlewati dengan amat baik.

Lanjutkan membaca “Yang Tertinggal Dari Tahun Pertemuan  “

Kicau Kacau

Tiga Mitos Internship

Ketika tulisan ini dibuat, bukan berarti saya belum move on dari status dokter internship. Bukan juga karena mau kasih kode ke anak internship. Bukan.

Kemarin saya mendapat kabar bahwa pendaftaran internship sudah dibuka lagi. Akhirnya teman-teman dan adik kelas saya–yang kemarin menjadi korban kekacauan birokrasi–mendapatkan sedikit titik terang.

Saya pun sempat dihujani pertanyaan-pertanyaan teknis seperti:

Berapa insentif daerahnya?
Gimana biaya hidup di sana?
Dapet fasilitas apa?
Internet lancar?
Ada tempat wisatanya nggak?
Siapa pacar sekarang?

Lanjutkan membaca “Tiga Mitos Internship”

Kicau Kacau

Kejutan Kilat

“Yakin mau ke sana?”

“Kok cepet bangeeet ciiin!!!”

“Weekend ini banget???”

“Kenapa mendadak gitu?!?!”

“Sediihhh. Tapi nanti bisa sering pulang kaan??”

“Gila gue kaget banget nih, Cint! Syok!”

“Bohong kaaan loo?!”

“Aaaaak…sedih banget dengernyaa”

“Kita harus ketemu dulu!”

“Sedih banget gw cinn. Nggak boong.”

Kalau handphone adalah manusia, LCD HP saya pasti sudah basah dan sembab karena banyak menerima emoticon sedih dan menangis. Bisa jadi, ia pun mengalami cardiac arrest karena dibuat terkejut berulang kali. Sejak kemarin sampai hari ini, HP saya memang dibanjiri air mata virtual dan ekspresi kaget yang masif. Dari kemarin, kalimat-kalimat seperti di atas terus bermunculan di layar ponsel saya. Semua bermula dari sebuah pesan singkat di pagi hari.

“Cinthya, kemungkinan kamu berangkat weekend ini, ya.”

Singkat. Tapi berhasil mengubah segala.
Lanjutkan membaca “Kejutan Kilat”

Kicau Kacau

Katak

Setiap malam, rumah dinas yang saya tempati di Lebong akan berubah wujud menjadi Museum Reptil dan Serangga. Berbagai serangga—mulai dari sekelas laron, belalang, kumbang, sampai unidentified flying object insect—akan mengepung kami, disusul dengan katak dan cicak. Kami bahkan pernah disinggahi oleh kadal dan ular! Sebagai perempuan-perempuan yang sudah terlatih menghadapi bangsa reptil (semacam buaya darat), kami bukannya takut, justru merasa kesal karena harus bolak-balik menyapu sayap laron atau kotoran katak.

Awalnya hewan-hewan itu masih malu-malu dan tahu diri, cuma bermain di bagian belakang rumah. Tapi, belakangan mereka kian berani menginvasi setiap sudut rumah. Dari semua hewan itu, yang paling ngelunjak adalah katak. Tadinya mereka hanya menguasai area dapur, hingga akhirnya menjajah ruang tamu. Jadi, pepatah “katak di dalam tempurung” sebaiknya direvisi. Zaman sekarang, kehidupan katak sudah beralih ke dalam lemari atau ke atas sofa.

Suatu hari, seekor katak kecil asyik berburu mangsa hingga ke ruang tamu. Dia tidak terlihat takut dengan manusia di sekitarnya, padahal jarang sekali katak-katak itu muncul jika ada manusia. Mungkin dia masih newbie dan belum mengenal risiko. Atau justru karena dia belum paham akan bahaya yang mengintai. Ia terus menjauh dari zona amannya, sampai akhirnya datanglah petaka itu. Tidak tahu bagaimana caranya, katak gendut itu tiba-tiba terjepit pintu dan tidak bisa meloloskan diri. Kami, yang tidak ingin mendapati mayat katak di sela pintu, akhirnya membantu katak itu keluar dengan selamat. Walaupun si katak kecil menjadi pincang, dia tetap tidak takut bermain di sekitar situ. Di hari-hari berikutnya, si katak kecil menjadi penguasa ruang tamu, mendapatkan makanan paling banyak, bahkan jejaknya diikuti oleh katak-katak lain yang lebih dewasa.

***

Belum sampai dua minggu saya kembali ke pangkuan ibukota. Tapi, dalam rentang waktu tersebut, sudah banyak momen yang dilewati, orang yang ditemui, dan kebaikan yang didapatkan. Tanpa diduga, masa-masa pengangguran ini justru memberikan banyak pencerahan.
Lanjutkan membaca “Katak”

Kicau Kacau

Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  

Setahun lalu, ketika mendengar nama Lebong untuk pertama kalinya, saya agak kelimpungan. Waktu itu, Wikipedia dan Google Map belum memuat informasi tentang kabupaten tersebut. Kelompok internship saya pun tak henti-hentinya bertanya, “Kenapa harus di Lebong?”. Kami bahkan sempat berpikir untuk melakukan transfer wahana. Dibandingkan wahana internship tetangga, dari segi apa pun, Lebong memang terbilang minimalis. Tapi, toh, every cloud has a silver lining. Ada banyak hal yang wajib saya syukuri selama ditempatkan di kabupaten ini.

1. Lembang dan Bromo KW Empat

Wilayah Lebong menyerupai ceruk yang dikelilingi oleh perbukitan (atau pegunungan mini?). Praktis, udara di sini relatif sejuk mendekati dingin, khususnya di pagi hari. Kalau mau disamakan, udara di Lebong bisa dibilang mirip dengan Lembang, Jawa Barat. Pada waktu-waktu tertentu, kabut bisa turun sangat tebal, sedikit mengingatkan saya dengan Bromo (tentu tanpa supir jeep atau pengendara kuda yang mirip artis FTV).

Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!
Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!

Di kota ini, hujan sering turun tiba-tiba. Tanpa pertanda, kumulonimbus akan datang dan memuntahkan air dengan deras. Tidak seperti di Jakarta, yang mendungnya hanya seperti basa-basi tanpa realisasi. Yang menyenangkan sekaligus melegakan, meskipun derasnya hampir menyerupai badai, hujan di Lebong tidak pernah diiringi petir dan guruh.

2. Tanpa Drama AADC Jilid Dua

Idiom “anak internship susah pulang” tidak berlaku untuk Lebongers. Jadwal jaga yang lowong dan fleksibel membuat kami bisa sering pulang. Apalagi harga tiket pesawat ke Bengkulu juga lebih terjangkau—dibandingkan daerah Indonesia tengah dan timur. Jangankan pulang waktu puasa atau Lebaran, pulang di setiap purnama juga bisa. Oh, ya, berhubung sama-sama wilayah Indonesia Barat, satu purnama di Jakarta dan Lebong masih sama, FYI.

Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong
Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong

3. Kebutuhan Hidup Dasar Yang Komplit

Kebetulan saya bukan orang yang keranjingan dengan mall, bioskop, atau fasilitas hedon lainnya. Jadi buat saya, Lebong telah menyediakan kebutuhan hidup dasar yang lebih dari cukup: air bersih, listrik 24 jam, fasilitas internet, serta toko bahan pangan. Biaya hidup di tempat ini juga relatif sama dengan Jakarta. Catatan: syarat dan ketentuan berlaku.

4. Kesempatan Jelajah Sumatra

Objek wisata di Lebong, bahkan di Kota Bengkulu, memang sangat minim. Jadi jangan harap bisa sering-sering memenuhi halaman Instagram dengan foto eksotis—seperti yang dilakukan teman-teman di wahana lain. Tapi, jangan dulu kecewa. Waktu yang kelewat luang bisa dimanfaatkan untuk melakukan wisata trans-Sumatra. Beberapa waktu lalu saya menjajal jalur lintas Sumatra selama 18 jam untuk menuju Bukittinggi. Terlalu jauh? Masih banyak opsi daerah yang lebih dekat. Kamu bisa mencoba sarapan pempek langsung di Palembang, menonton sirkus gajah di Lampung, atau–untuk para aktivis lingkungan hidup–menjadi volunteer pemadaman kabut asap di Jambi.

Lanjutkan membaca “Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  “