Kicau Kacau

Hai, Banggai!  

Seharusnya postingan ini sudah dipajang sejak beberapa waktu lalu. Tapi, keterbatasan akses internet memaksa saya terus menundanya.

Sudah hampir dua bulan saya berada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kurun waktu ini merupakan masa adaptasi yang lumayan menantang. Tidak jarang saya menggeragap ketika terbangun dari tidur. Kadang merasa berada di Jakarta, kadang seperti membaui aroma rumah dinas di Lebong.

Disorientasi. Entah kenapa perantauan kali ini terasa berbeda. Mungkin karena keberangkatan saya ke tempat ini lumayan mendadak. Mungkin juga karena jeda yang terlalu singkat antara masa internship dan bekerja. Entah harus senang atau sedih.

Saat ini saya lebih kangen Jakarta, rindu keluarga, sering memimpikan teman-teman, ingin cepat pulang, mau ini itu, dan sejuta hal manja lainnya.

Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai
Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai

Banggai memang berbeda dengan Jakarta atau Lebong—dua kota yang sempat menjadi domisili saya. Kabupaten ini diapit oleh perbukitan dan laut secara bersamaan. Cantik! Tapi seperti daerah pantai pada umumnya, Banggai memiliki matahari ganda! Yang satu berfungsi membuat gerah, satunya lagi bertugas menggosongkan kulit. Yeah, combo strike!

 

Kota Luwuk dari Bukit Inspirasi/ Bukit Kasih Sayang/ Bukit Keles
Kota Luwuk dari Bukit Inspirasi/ Bukit Kasih Sayang/ Bukit Keles

Saat ini saya tinggal di Kecamatan Nambo, sekitar setengah jam perjalanan dari Luwuk. Walaupun tidak jauh dari pusat kota, Nambo seperti berada di peradaban yang berbeda. Tempat tinggal saya cukup sepi.

Kendaraan yang hilir mudik didominasi oleh truk pengangkut minyak atau mobil perusahaan gas. Angkutan umum biasanya lewat satu jam sekali sambil memasang lagu dangdut koplo superkeras. Rasanya seperti ada hajatan berjalan! Kalau sedang beruntung, ada juga angkot yang menyetel playlist lagu barat masa kini.

PANO_20150125_120017
Pantai ini terletak di pinggir jalan. Tidak perlu biaya retribusi atau tiket masuk untuk menikmati keindahannya.

Selain jauh dari keramaian, tempat tinggal saya juga jauh dari jaringan. Di saat provider telekomunikasi mulai menggalakkan fasilitas 4G, saya harus berpuas diri dengan jaringan 2G. Untuk telepon atau SMS saja perlu kesabaran ekstra, apalagi internet. Kalau mau mengakses internet tanpa naik darah, saya harus lari ke hutan lalu belok ke pantai pergi ke kota atau ke daerah kilang gas yang berjarak 1 jam perjalanan. Praktis, semenjak berada di sini, saya pun resmi menjadi fakir sinyal.

Halaman belakang rumah saya yang (hampir) langsung menghadap laut
Halaman belakang rumah saya yang (hampir) langsung menghadap laut

Walaupun kadang terasa berat, masa adaptasi ini menjadi lebih menyenangkan karena banyak hal baru yang bisa saya pelajari. Misalnya, saya yang dulunya paling anti naik motor, kini sudah berani duduk di boncengan dengan tenang dalam durasi yang lama. Achievement unlocked!

Saya juga dihadapkan dengan dunia kerja yang serba baru. Mendalami kesehatan komunitas, berkenalan dengan dunia migas, serta belajar berbagai soft skills–yang tidak akan saya dapatkan bila hanya mengikuti arus.

Di sini saya tinggal dengan dua rekan kerja, seorang bidan dan seorang sarjana kesehatan masyarakat. Keduanya bukan hanya menjadi partner kerja, tapi juga teman yang baik. Bahkan setiap minggu mereka mau mengantarkan saya ke kota untuk beribadah. Tapi, ada satu hal yang selalu membuat saya keki. Di mana pun dan kapan pun, mereka selalu memanggil saya dengan sebutan “Dokter, Dokter!”. Tidak jarang ketika di pasar atau jalan, orang-orang yang mendengar itu jadi memberikan pandangan “Hah?! Ini bocah dokter? Nggak salah?” kepada saya.

image

Yang paling saya sukai dari penduduk di sini adalah optimisme mereka. Ketika melakukan perkenalan di tempat kerja atau tempat tinggal, dan ditanyakan soal status, mereka tidak pernah percaya dengan jawaban saya. “Ah, dokter te bisa babohong! Pasti dokter so punya! Kelihatan sekali dari mukanya. Ada yang tunggu ngana di Jakarta, ya toh?”. Muka ditungguin orang di Jakarta tuh gimana sih? Kalau sudah begitu saya cuma bisa ber-Yao Ming Face.

Masih ada delapan bulan lagi masa kontrak saya di sini. Semoga semakin banyak hal-hal seru dan menyenangkan ke depannya!

image

4 tanggapan untuk “Hai, Banggai!  

      1. Di bagian “Hah?! Ini bocah dokter? Nggak salah?” dan saat dikira ada yang nunggu di Jakarta. Hehe.

        Gue juga lagi susah nulis puisi. Problemnya jelas karena hidup gue sudah terkunci sama rutinitas dan kebosanan. Butuh semacam patah hati atau depresi lagi buat ngalirin diksi.

        Menurut gue, tulisan lo yang jenis ‘catatan harian’ begini selalu bisa dinikmati. Gak kentara lagi writer’s block. Entah kalau soal tulisan fiksi. :p

Tinggalkan komentar