Pulang: Sebuah Novel
Judul Buku : Pulang
Jenis : Fiksi (Novel)
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal : 464 halaman
“Pada akhirnya, dalam Novel ini kita mendapatkan dua jenis ‘gerak kembali’, persis sebagaimana yang dikatakan Ernst Bloch dalam The Principle of Hope mengenai dua jenis ‘pulang’.” —Robertus Robet, Dosen Sosiologi UNJ.
Saya adalah seorang penganut prinsip “save the best for the last”. Saya selalu percaya bahwa semua hal yang—menurut saya—paling baik, patut mendapat tempat di urutan akhir. Hal ini juga berlaku dalam memilih bahan bacaan. Saya cenderung menyimpan buku yang saya anggap sangat baik, alih-alih segera membacanya, karena merasa sayang jika harus cepat-cepat menghabiskannya.
Inilah yang terjadi dengan “Pulang: Sebuah Novel”. Sejak memiliki buku ini pada awal tahun lalu, baru dua hari kemarin saya memutuskan untuk benar-benar menyerah kepadanya. Dan benar saja, setelah semuanya selesai saya justru merasa kosong dan hilang arah. Setiap elemen dari buku ini, saya rasa, serupa madat yang mampu mencandui pembacanya.
Nostalgia Sejarah Yang Memikat
Entah kenapa saya selalu tertarik dengan fiksi yang dibumbui dengan unsur sejarah. Maka ketika “Pulang” dirilis, saya tidak bisa menahan diri untuk membaca sekaligus membandingkannya dengan karya-karya serupa. Jika diminta untuk membandingkan dengan gubahan penulis lain yang pernah saya baca (Amba , Gema Sebuah Hati , dan Map of The Invisible World), saya akan mengatakan bahwa Pulang adalah yang terbaik di antara semuanya.
Namun, ada satu hal yang sangat menarik dari buku ini. Bukannya ingin mengada-ada atau sok tahu menarik benang merah, tapi saya cukup heran karena (lagi-lagi) menemukan unsur cerita Mahabharata dalam novel ini–sama seperti Amba. Apakah buku-buku semacam ini lantas memiliki keterkaitan dengan epos klasik itu?
“Pulang” adalah sebuah paket lengkap. Ada nilai sejarah dan juga romansa di dalamnya. Plus, unsur kontemplasi yang terselip tanpa kesan menggurui. Leila S. Chudori mampu mengemas sirkus politik yang mengerikan ke dalam roman yang memukau.
Novel ini dibuka dengan narasi memikat dari diksi-diksi yang padat, tetapi tidak membuat penat. Cerita bermula dari sebuah kamar gelap Tjahaja Foto di sudut Jalan Sabang dengan Hananto Prawiro sebagai pusat cerita. Di babak selanjutnya, pembaca digiring pada keriuhan di Paris tahun 1968 dari kacamata seorang Dimas Suryo. Setelah itu, kisah ini berlanjut dengan alur maju mundur dan sudut pandang yang terus berpindah. Penulis bolak-balik menjadi “aku” untuk beberapa tokoh berbeda dan menggunakan latar waktu yang berubah-ubah.
Meskipun ada begitu banyak “aku” dalam buku ini, saya tidak dibuat kebingungan. Penulis sangat piawai berganti peran dengan cara yang mulus dan rapi. Setiap tokohnya memiliki karakter yang berbeda, tetapi dibawakan dengan sama kuat. Jelas sekali bahwa Leila S. Chudori sangat mendalami setiap tokoh yang dia buat. Bahkan di antara satu “aku” dengan lainnya, terasa aura yang berbeda.
Tidak hanya terampil dengan penokohan, Leila S. Chudori juga sangat mahir memainkan mesin waktu. “Pulang” berkutat pada tiga peristiwa penting dalam sejarah, yakni G30S PKI tahun 1965 di Indonesia, gerakan mahasiswa di Paris pada Mei 1968, serta momentum reformasi tahun 1998. Uniknya, Leila tidak menceritakan ketiga momen itu secara linear. Ia seringkali berpindah latar waktu dengan cara yang tidak diduga-duga, misalnya dengan secarik surat usang atau kilas balik memori salah satu tokoh. Meskipun begitu, semua transisi waktu ditampilkan nyaris tanpa aral hambatan.
Lanjutkan membaca “Merestorasi Definisi Pulang Dalam Balutan Sejarah”