Kicau Kacau

Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  

Setahun lalu, ketika mendengar nama Lebong untuk pertama kalinya, saya agak kelimpungan. Waktu itu, Wikipedia dan Google Map belum memuat informasi tentang kabupaten tersebut. Kelompok internship saya pun tak henti-hentinya bertanya, “Kenapa harus di Lebong?”. Kami bahkan sempat berpikir untuk melakukan transfer wahana. Dibandingkan wahana internship tetangga, dari segi apa pun, Lebong memang terbilang minimalis. Tapi, toh, every cloud has a silver lining. Ada banyak hal yang wajib saya syukuri selama ditempatkan di kabupaten ini.

1. Lembang dan Bromo KW Empat

Wilayah Lebong menyerupai ceruk yang dikelilingi oleh perbukitan (atau pegunungan mini?). Praktis, udara di sini relatif sejuk mendekati dingin, khususnya di pagi hari. Kalau mau disamakan, udara di Lebong bisa dibilang mirip dengan Lembang, Jawa Barat. Pada waktu-waktu tertentu, kabut bisa turun sangat tebal, sedikit mengingatkan saya dengan Bromo (tentu tanpa supir jeep atau pengendara kuda yang mirip artis FTV).

Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!
Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!

Di kota ini, hujan sering turun tiba-tiba. Tanpa pertanda, kumulonimbus akan datang dan memuntahkan air dengan deras. Tidak seperti di Jakarta, yang mendungnya hanya seperti basa-basi tanpa realisasi. Yang menyenangkan sekaligus melegakan, meskipun derasnya hampir menyerupai badai, hujan di Lebong tidak pernah diiringi petir dan guruh.

2. Tanpa Drama AADC Jilid Dua

Idiom “anak internship susah pulang” tidak berlaku untuk Lebongers. Jadwal jaga yang lowong dan fleksibel membuat kami bisa sering pulang. Apalagi harga tiket pesawat ke Bengkulu juga lebih terjangkau—dibandingkan daerah Indonesia tengah dan timur. Jangankan pulang waktu puasa atau Lebaran, pulang di setiap purnama juga bisa. Oh, ya, berhubung sama-sama wilayah Indonesia Barat, satu purnama di Jakarta dan Lebong masih sama, FYI.

Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong
Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong

3. Kebutuhan Hidup Dasar Yang Komplit

Kebetulan saya bukan orang yang keranjingan dengan mall, bioskop, atau fasilitas hedon lainnya. Jadi buat saya, Lebong telah menyediakan kebutuhan hidup dasar yang lebih dari cukup: air bersih, listrik 24 jam, fasilitas internet, serta toko bahan pangan. Biaya hidup di tempat ini juga relatif sama dengan Jakarta. Catatan: syarat dan ketentuan berlaku.

4. Kesempatan Jelajah Sumatra

Objek wisata di Lebong, bahkan di Kota Bengkulu, memang sangat minim. Jadi jangan harap bisa sering-sering memenuhi halaman Instagram dengan foto eksotis—seperti yang dilakukan teman-teman di wahana lain. Tapi, jangan dulu kecewa. Waktu yang kelewat luang bisa dimanfaatkan untuk melakukan wisata trans-Sumatra. Beberapa waktu lalu saya menjajal jalur lintas Sumatra selama 18 jam untuk menuju Bukittinggi. Terlalu jauh? Masih banyak opsi daerah yang lebih dekat. Kamu bisa mencoba sarapan pempek langsung di Palembang, menonton sirkus gajah di Lampung, atau–untuk para aktivis lingkungan hidup–menjadi volunteer pemadaman kabut asap di Jambi.

5. Banyak Waktu Untuk Melakukan Hobi

Lagi-lagi saya tak bosan mengingatkan, waktu luang di Lebong sangatlah banyak. Normalnya, kalau tidak sedang bayar hutang jaga, dokter internship hanya mendapat giliran jaga 2 kali seminggu (sekali jaga pagi dan sekali jaga malam). Sisanya? Silakan membuat daftar kegiatan sepanjang-panjangnya. Menulis, melahap berbagai bacaan, menjadi banci lomba, meracik menu makanan baru, mengasah kemampuan rumah tangga, menjadi guru privat anak-anak tetangga, bergosip dengan ibu-ibu PKK, olahraga, membuat kerajinan tangan, dan sebagainya. Kira-kira itulah hal sederhana yang saya lakukan untuk mengisi kesenggangan di Lebong.

6. Dokter Layanan Primer

Fasilitas kesehatan di Lebong masih sangat terbatas, baik dari segi sumber daya manusia maupun prasarana. Tidak ada dokter spesialis, kamar operasi, ruang ICU, alat-alat kedokteran canggih, obat-obat mutakhir, atau sarana diagnostik yang mumpuni. Kalau mau membandingkan nasib dengan teman-teman di RS lain, tentu terasa miris. Jika mereka bisa belajar dari konsulen, kami harus berkutat dengan ilmu koboi. Sementara mereka menggunakan peralatan atau obat-obatan canggih, kami harus putar otak memanfaatkan fasilitas yang ada.

Tapi, semua ada hikmahnya. Dengan begitu, kami benar-benar berlatih menjadi dokter layanan primer. Walaupun diberi stereotipe sebagai spesialis merujuk pasien, kami bisa benar-benar “memegang” pasien. Tidak banyak dokter internship yang mendapat kesempatan menangani pasien secara holistik. Mulai dari membentuk diagnosis, merencanakan terapi, melakukan follow up, sampai memberikan edukasi yang komprehensif. Tidak jarang, hubungan dokter-pasien semacam ini jadi terasa lebih intim dan menciptakan kepuasan tersendiri.

7. Balas Dendam Koas

Berdiri di IGD sambil menahan kantuk, jadi juru tensi untuk puluhan pasien, atau begadang menunggu ibu partus? Kebiasaan waktu koas itu mungkin masih terus berlanjut jika mendapat wahana internship di RS besar. Tapi, di Lebong, semuanya tinggal kenangan. Jumlah pasien yang sedikit dan kondisinya yang relatif tenang, membuat aktivitas jaga menjadi lebih ringan. Kapan lagi bisa mengisi waktu jaga dengan tidur siang atau menghabiskan novel dua ratus halaman?

8. Selamat Tinggal, Lampu Merah!

Inilah yang menjadi favorit saya selama tinggal di Lebong. Bukan cuma nihil kemacetan, Lebong bahkan tidak punya lampu merah! Ini bagaikan semacam surga buat saya, yang sejak lahir tinggal di kota Jakarta dan sangat akrab dengan lampu merah menyebalkan. Seingat saya, kemacetan di Lebong hanya pernah terjadi satu kali sepanjang tahun, yaitu saat H-1 Lebaran di depan pasar setempat. Selebihnya, hanya ada jalanan lengang dan bebas polutan.

9. Bebas Klenik, Parang, dan Visum Jenazah

Setelah bertukar cerita dengan teman-teman dari berbagai perantauan, saya merasa sangat bersyukur mendapat tempat di Indonesia bagian barat. Semakin ke timur, kehidupan di sana rasanya lebih mendebarkan. Celurit, parang, dan berbagai benda tajam bertebaran dimana-mana. Korban pembunuhan supersadis hampir selalu mengantre setiap hari untuk divisum. Dan hal-hal klenik seperti santet dan pelet masih sangat kental. Sementara di Lebong, saya tidak pernah mendapat kasus visum jenazah. Walaupun sempat hampir kemalingan, tapi rasa-rasanya keamanan di tempat ini cukup terjamin. Saya bebas lari pagi sendirian, naik angkot tanpa kekhawatiran, atau menjemur pakaian sembarangan. Entah karena memang di sini tidak ada ritual guna-guna, atau tidak ada yang berminat mengguna-guna(?)

10. Banyak Orang Baik

Mungkin ini adalah poin yang paling personal. Terlepas dari apa pun motifnya, selama setahun di Lebong, saya dipertemukan dengan banyak orang baik. Abang-abang-atau-alay-kampret-yang-suka-suit-suit-di-pinggir-jalan sudah pasti ada. Sepertinya manusia semacam itu juga ada sampai ke Planet Pluto. Walaupun sudah mengucapkan secara langsung, rasanya saya masih berhutang banyak dengan mereka.

Keluarga Bacik yang sangat banyak membantu bahkan sampai waktu kepulangan kami, tetangga di distrik Kampung Jawa (termasuk bocah-bocah yang makin lama makin ngelunjak tapi tetap kusayang :)), umat stasi St. Mathias, tim jaga IGD dan IRNA RSUD Lebong, staf Puskesmas Muara Aman, Dokter Esther yang selalu pro-anak internship, Dokter Anggi yang walaupun kadang absurd tapi ternyata bisa jadi partner diskusi (medis dan kehidupan *tsah*) yang menyenangkan, semua orang Lebong yang pernah memberikan bantuan sekecil apa pun, dan tentunya lima belas Lebongers yang unik-unik.

Terima kasih seribu, Lebong!
Terima kasih seribu, Lebong!

Saya mungkin tidak dapat mencicipi kecanggihan cath lab, menguasai venaseksi, atau menjadi operator appendektomi. Saya juga tidak bisa diving di Raja Ampat, snorkeling di Wakatobi, atau trekking ke Wae Rebo. Tapi, setidaknya di sini saya belajar, bahwa daripada merutuk yang tidak ada, lebih baik mensyukuri yang sudah disediakan. Yekan? Terima kasih banyak, Lebong, untuk setahun yang penuh arti! 🙂

2 tanggapan untuk “Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  

  1. Halo kak, saya lulusan fk unsri 09, baru saja mendapatkan tempat wahana insip di rs curup, boleh saya minta kontaknya kak untuk nanya2?

Tinggalkan komentar