Aku rasa ini bukanlah sebuah kebetulan.
Aku berjalan di koridor yang sama, yang cat dindingnya sudah mengelupas di beberapa tempat. Penghiduku segera mengenali aroma yang familiar—kombinasi dari bau ruangan laundry dan restoran cepat saji. Brankar-brankar berlarian menciptakan decit yang menggemaskan. Orang-orang berkostum putih lalu lalang dengan wajah sibuk dan terburu-buru.
Biasanya aku tidak sempat memerhatikan sekitar. Biasanya aku menjadi bagian dari kumpulan-orang-yang-berjalan-tergesa-gesa-dan-fokusnya-entah-di-mana. Tapi, hari ini lain. Aku punya terlalu banyak waktu untuk mengukur lebar dinding yang terkelupas, menebak merek pengharum seprai bangsal, atau mengamati muka-muka tegang yang berseliweran.
Aku juga punya terlalu banyak waktu—dan terlalu sedikit alasan—untuk tidak menghindarimu.
Akhir-akhir ini aku memang jarang berdoa. Tapi, tidak semestinya Tuhan membalasku dengan cara seperti ini. Mataku terkunci di persimpangan itu, pada sebuah bayangan yang menyerupai kamu. Ia terus mendekat. Lama-kelamaan ia tidak lagi menyerupai kamu.
Karena bayangan itu tak lain adalah kamu.
Kamu terlihat kuyu. Sudah berapa malam kamu tidak tidur? Bobot badanmu juga sepertinya terkuras habis-habisan. Jas putihmu itu terlihat sedikit kedodoran, tahu. Pasti kamu terlalu sibuk mengurusi menu makanan senior—sementara jadwal makanmu sendiri hancur berantakan. Dari dulu kamu selalu begitu. Kelewat sibuk mendahulukan urusan orang lain lalu mengabaikan dirimu sendiri—dan orang-orang dekatmu. Iya, kan?