Kicau Kacau

Hujan, KI Balut, dan Senyum Mereka

Langkah menjadi panutan. Ujar menjadi pengetahuan. Pengalaman menjadi inspirasi

Malam minggu kali itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya di Banggai. Rasanya seperti mau pergi kencan pertama. Ada eksitasi endorfin yang membuncah, bersamaan dengan percikan adrenalin yang sesekali meletup ringan.

Walaupun mood saya sempat dibuat berantakan oleh PLN yang hampir seharian mematikan listrik—sehingga pompa air tidak berfungsi lalu kami tidak bisa mandi karena kehabisan air dan seisi rumah menjadi kacau balau—rasa antusias itu tidak bisa diredam.

That would be the best Sat nite ever! Dalam hitungan jam saya akan bertemu orang-orang hebat, bergabung dalam sebuah acara hebat, dan memetik pengalaman hebat. Saya akan mengikuti Kelas Inspirasi Banggai Laut yang hebat!

Menjelang malam, setelah packing superkilat, saya berangkat ke kota Luwuk dengan sepeda motor. Semuanya berjalan lancar sampai tiba-tiba … BYURR!!! Hujan turun tiba-tiba dan memaksa kami berteduh di bawah pohon. Bukannya mereda, hujan justru semakin deras dan berangin. Teman saya, yang juga hendak mengikuti KI, langsung histeris dan mengajak pulang begitu melihat pakaian dan tas kami yang kian kuyup.

Seperti biasa, bocah plegmatis ini lantas berada di persimpangan. Antara mengikuti saran teman untuk pulang atau menjalani kata hati untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Saya sempat berpikir macam-macam, sok-sok menangkap firasat alam atau apa. Memang dari awal mendaftarkan diri di KI, saya merasa ada saja hal yang menghambat. Mungkin memang nggak dibolehin pergi kali ya. Dari tadi pagi kok halangannya banyak banget. Nanti kalau ombaknya heboh gimana? Nanti kalau kapalnya tenggelam gimana? Gue nggak bisa berenang! Bucket list gue masih belum tercapai semua! Gue belum kaw … al kinerja kabinet Jokowi (apeu!).

Mata saya lalu tertuju pada tas berisi pakaian yang sudah semakin basah. Tas itu yang akan jadi penentu. Kalau isi tas itu tidak basah, berarti saya akan melanjutkan perjalanan!

Hujan makin deras dan berangin. Tidak mungkin kami nekat melanjutkan perjalanan dengan motor. Tiba-tiba sebuah angkot lewat di depan kami. Sambil menembus hujan, saya dan teman saya segera naik ke angkot sambil membawa barang-barang yang harus diselamatkan. Sementara teman lainnya akan menyusul dengan motor.

Dan terjebaklah kami di sana. Di sebuah angkot pengap yang semua pintu dan jendelanya tertutup, dengan sekumpulan cowok menyeramkan yang tengah asyik merokok, dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Damn! Kalau ini Jakarta, mungkin gue nggak akan sengeri ini. Tapi ini di daerah orang. Gue masih belum bisa membaca situasi. Sepanjang jalan saya sibuk  merapal doa dan menggenggam helm sebagai senjata.

Untunglah “geng cowok pembakar paru-paru” itu tidak melakukan hal-hal yang membuat saya ingin melemparkan helm ke kepala mereka. Akhirnya kami tiba di rumah seorang teman dengan selamat–dan basah. So here is the moment of truth! Saya membuka tas dan Voila! Walaupun ada beberapa properti yang sedikit basah, sebagian besar isi tas masih terbilang aman. Oke! Persetan dengan gejala masuk angin dan segala keparnoan yang tadi sempat muncul. Saya berangkat dengan segala risikonya. Masak niat baik dibalas dengan hal yang buruk?

 ***

Terakhir kali menumpang kapal—sekitar satu setengah tahun lalu ke Pulau Seribu—saya ketakutan setengah mati. Ombaknya yang besar dan sampai menggenangi lambung kapal, plus sensasi naik kora-kora di atas laut, membuat saya sedikit trauma. Tapi pengalaman naik kapal menuju Banggai Laut berbeda.

Dek kapal Lady Viera tampak ramai dan hangat. Senyum dan tawa bertebaran di sepanjang koridor kamar. Baru beberapa jam kami bertemu, tapi rasanya sudah seperti teman lama yang begitu karib. Semuanya berada dalam satu frekuensi. Semuanya membawa misi dan tujuan yang sama.

Setelah menempuh perjalanan laut selama 11 jam–terlambat 3 jam dari perkiraan akibat baling-baling kapal yang rusak–akhirnya kami menginjakkan kaki di Pelabuhan Banggai Laut. Setibanya di sana, rombongan inspirator disambut dengan sangat baik oleh panitia dan Pemerintah Daerah. Inilah salah satu hal yang membuat saya terkesan. Pemda Balut sangat mendukung Gerakan KI di daerah mereka.

Para inspirator bukan hanya dimanjakan pemandangan alam yang luar biasa, melainkan juga keramahan pejabat dan masyarakat Balut. Sepertinya KI Balut adalah yang pertama mengusung sistem live in  bersama warga lokal. Perjumpaan dengan host fam itu, walau hanya semalam, berhasil mengobati kekangenan saya dengan orang rumah.

***

Senin, 9 Februari 2015. Hari Inspirasi itu akhirnya tiba! Saya mendapatkan penempatan di Desa Bone Baru, sekitar 1 jam dari pusat kota. Sebuah desa yang belum terjamah oleh jaringan telekomunikasi. Selama 24 jam itu saya merasakan sensasi hidup tanpa sinyal seutuhnya.

Untuk pertama kalinya, setelah 8 tahun berlalu, akhirnya saya berada di tempat yang sama: lapangan upacara. Namun, kali ini saya berdiri di barisan yang berbeda. Barisan yang dulu saya anggap sakral dan selalu menimbulkan rasa iri di hati para murid. Saya dan ketiga inspirator lainnya berdiri di barisan guru!

Upacara selesai dan inilah waktunya! Kelas Inspirasi resmi dimulai. Kelas pertama yang saya masuki adalah Kelas 5. Oke, mendadak semua lesson plan di kepala saya buyar! Tapi, awkward moment itu tidak berlangsung lama. Untungnya anak-anak di kelas itu manis dan baik. Akhirnya mereka juga yang berhasil mengembalikan saya ke jalan yang benar.

Pengalaman dua kali tiga puluh menit mengajar di depan kelas adalah sesuatu yang sangat tidak ternilai. Sesungguhnya, saat itu bukan saya yang mengajar, tetapi saya lah yang belajar. Betapa mereka, walaupun kecil dan jauh dari “peradaban”, punya keberanian yang besar untuk bermimpi.

Anak-anak SD Bone Baru yang walaupun kelas sudah selesai dan inspirator sudah pulang ke rumah host fam, masih mengintil terus.
Anak-anak SD Bone Baru yang walaupun kelas sudah selesai dan inspirator sudah pulang ke rumah host fam, masih mengintil terus.

***

Hari ini tepat satu bulan sejak Kelas Inspirasi Balut dihelat. Sore ini pun listrik mati dan hujan tampak renyai. Tiba-tiba saya rindu momen yang tidak akan datang untuk kedua kalinya itu.

Sore itu adalah sore dimana saya telah membuat salah satu keputusan terbaik di dalam hidup saya. Diam-diam saya bersyukur dalam hati karena tidak mendengarkan saran teman saya.

Kalau sore itu saya menyerah, mungkin saya tidak akan dipertemukan dengan teman-teman relawan yang luar biasa.

Kalau sore itu saya berbalik arah, mungkin saya tidak punya kesempatan untuk melihat senyum anak-anak bangsa.

Kalau sore itu saya memutuskan untuk pulang saja, seumur hidup saya pasti menyesal karena telah melewatkan pengalaman yang begitu berharga.

Terima kasih, Kelas Inspirasi Banggai Laut. 🙂

Nambo, 9 Maret 2015

Inilah orang-orang hebat dari berbagai latar yang bersedia menjadi relawan, bukan bayaran. Setiap berada di dekat mereka, saya jadi merasa seperti butiran debu dan jadi kepingin nyanyi “Aku Mah Apa Atuh”

7 tanggapan untuk “Hujan, KI Balut, dan Senyum Mereka

  1. Kisah yang menarik sahabat… semoga kisahmu ini bisa menjadi narasi inspirasi bagi banyak orang…. Saya cukup terkesan dengan istilahmu, perokok itu pembakar parau-paru. Trus helm yang dibaa serta ke dalam mobil. Ide untuk jadi sentara alternatif ngehantam para lelaki seram di mobil. Oalah… kutungguh kisahmu sahabat…

  2. Berimba kabare hamae kakak? wkwkwk sudah bisa kaka bahasa sana?
    two tumbs up. salut. tetep semangat. jadi inget quote dari filem walter mitty ,
    “to see the world, things dangerous to come to,
    to see behind walls, to draw closer,
    to find each other and to feel.
    that is the purpose of Life.

    *klo mau filmnya, ntr gue kasih link donlotna.

    liat bocahnya lucu keknya, mirip glen fredly smua, jadi pengen nyusul kesana, haha.

    yo wis ati2 pulangnya cin, doa kami menyertai perjalanan mu.

  3. Kak Cinthya ini yang pacarnya Kak Reza Nufa kan? Hehehe, yang ditulis di blognya Kak Reza. Tentang Chibi Maruko itu lhoh. . . Lucu ya kak, 😀

Tinggalkan komentar