Fragmen Sketsa

Sekeping Chip di Kepala Hawa  

Aku rasa ini bukanlah sebuah kebetulan.

Aku berjalan di koridor yang sama, yang cat dindingnya sudah mengelupas di beberapa tempat. Penghiduku segera mengenali aroma yang familiar—kombinasi dari bau ruangan laundry dan restoran cepat saji. Brankar-brankar berlarian menciptakan decit yang menggemaskan. Orang-orang berkostum putih lalu lalang dengan wajah sibuk dan terburu-buru.

Biasanya aku tidak sempat memerhatikan sekitar. Biasanya aku menjadi bagian dari kumpulan-orang-yang-berjalan-tergesa-gesa-dan-fokusnya-entah-di-mana. Tapi, hari ini lain. Aku punya terlalu banyak waktu untuk mengukur lebar dinding yang terkelupas, menebak merek pengharum seprai bangsal, atau mengamati muka-muka tegang yang berseliweran.

Aku juga punya terlalu banyak waktu—dan terlalu sedikit alasan—untuk tidak menghindarimu.

Akhir-akhir ini aku memang jarang berdoa. Tapi, tidak semestinya Tuhan membalasku dengan cara seperti ini. Mataku terkunci di persimpangan itu, pada sebuah bayangan yang menyerupai kamu. Ia terus mendekat. Lama-kelamaan ia tidak lagi menyerupai kamu.

Karena bayangan itu tak lain adalah kamu.

Kamu terlihat kuyu. Sudah berapa malam kamu tidak tidur? Bobot badanmu juga sepertinya terkuras habis-habisan. Jas putihmu itu terlihat sedikit kedodoran, tahu. Pasti kamu terlalu sibuk mengurusi menu makanan senior—sementara jadwal makanmu sendiri hancur berantakan. Dari dulu kamu selalu begitu. Kelewat sibuk mendahulukan urusan orang lain lalu mengabaikan dirimu sendiri—dan orang-orang dekatmu. Iya, kan?

Lanjutkan membaca “Sekeping Chip di Kepala Hawa  “

Fragmen Sketsa · Tarian Pena

Eskapisme Rasa  

“Barangkali kita hanya dua orang yang lupa cara mencinta, kemudian pura-pura mengerti bagaimana membaca rasa,” kataku pada akhirnya, setelah dua jam kita terduduk bisu.

Kamu tetap membatu dengan ekspresi tak terdefinisikan. Entah itu marah ataukah bahagia. Aku tidak pernah berhasil menebak ambiguitas yang kamu citrakan. Kamu masih punya sorot mata setangguh dahulu. Tapi aku tahu, kamu pun masih bekerja keras menyembunyikan sebongkah hati yang rapuh.

Sebuah paradoks, itulah kamu.

Seputik senja mekar bersemu, seperti anak dara yang malu-malu mereguk rindu. Entah jingga, entah merah darah. Yang aku lihat hanyalah merah jambu.

“Aku masih dalam tahap belajar. Saat ini aku sedang berlatih mengeja C.I.N.T.A. Awalnya susah, tapi lama-kelamaan aku mulai bisa. Kamu mau dengar?” Akhirnya kamu bersuara.

Aku mengangguk. Bukankah sejak dulu aku memang selalu gagal menampikmu? Seperti juga mereka yang mati-matian memujamu.

Tertatih, kamu mengeja C.I.N.T.A. Beberapa kali lidahmu terjegal, mengeluarkan bunyi-bunyian yang bahkan tidak pernah aku pahami maknanya. Aku terkekeh.

“Cinta memang tidak untuk diucapkan berulang kali,” ujarku menahan geli. “Supaya tidak kehilangan esensi.”

“Hmmm … seperti embun pagi, yang merekah sekali lalu menguap di sisa hari. Barangkali itulah cinta. Bergairah seketika, lalu mati tak bersisa. Begitu, ya?” tanyamu tiba-tiba. Tetapi, jelas sekali bahwa fokusmu bukanlah kepadaku.

“Tuan, barangkali kita hanya dua manusia yang terjebak pada masa yang salah. Kamu dengan masa lalumu. Dan aku dengan masa depan yang abu-abu.” Tak kuduga, barisan kalimat itu berhasil mencuri perhatianmu.

“Nona, tapi aku mencintai kamu dengan sungguh.”

“Bagaimana jika, yang kamu cintai ternyata bukan aku, melainkan kenang-kenanganmu itu? Bagaimana jika, yang kita alami ini hanyalah eskapisme yang menjelma romantisme?” Aku menghela napas, memungut remah-remah kekuatan yang bertebaran. “Tuan, bagaimana jika, semua ini hanyalah wujud lain dari penyakit kesepian?”

Kamu kembali diam. Entah apa yang tengah menyesaki rongga kepalamu. Seperti biasa, kamu tidak mengizinkan aku untuk menerkanya.

“Tuan, kamu tidak sedang diburu waktu. Jikalau kamu masih hendak berlatih melafalkan C.I.N.T.A, lakukanlah perlahan. Supaya ketika Nona Yang Sesungguhnya nanti datang, lisanmu tak lagi terpiuh mengucapnya.”

Tarian Pena

Untuk Kamu Yang Enggan Beranjak Dari Masa Lalu

Jadi pada malam itu kamu datang tiba-tiba. Mengajaknya berbincang tentang kenangan, bernostalgia dengan rasa yang pernah datang. Dia tampak sedikit bimbang. Berpura-pura tidak sedang menyimpan gamang.

Kamu mengawali malam itu dengan bercerita soal secarik rindu yang tak tersampaikan. Tentang penyesalan-penyesalan yang selalu kamu resahkan.

Kamu hanya berbicara tentang masa lalu, menggebu-gebu ingin menciptakan mesin waktu. Katamu kamu ingin sekali mengulang hari itu.

Kamu terus berbicara soal melepaskan dan merelakan. Padahal kamu bahkan enggan melangkah satu inchi dari kenyataan. Memutar kenangan adalah zona nyaman dan melupakan adalah proses mematikan.

Kamu masih saja bercerita perihal keinginanmu untuk bergerak dari masa lalu. Nyatanya kamu terus saja memeluk waktu yang tak beranjak maju.

Kamu terus berbicara dan berbicara. Tanpa peduli akan dia yang juga ingin berkata-kata. Berkisah tentang rindu, meragu, dan pedihnya menunggu.

Kali ini kamu berhenti bicara. Bukan karena pada akhirnya kamu sadar bahwa kamu sudah melewatkan banyak hal karena terus terpaku pada masa itu. Bukan juga karena kamu tersadar akan dia yang selalu ada di sudut itu.

Kamu memang berhenti bicara, tetapi lalu mengambil kertas dan pena. Kamu memang tidak lagi terjebak pada tema masa lalu, tetapi kemudian berulang-ulang menuliskan nama itu.

Untuk kamu, yang masih saja menolak untuk melupakan masa lalu.
Kamu harus tahu, tidak semua orang cakap dalam hal menunggu. Akan ada masa dimana mereka yang terlalu lelah menunggu, lantas memilih pergi dan meninggalkan yang meragu.

Untuk kamu, yang masih enggan beranjak dari masa lalu.
Tahukah kamu? Akhirnya dia yang selalu setia berdiam di sudut itu, memutuskan untuk menyerah dan berkata “percuma”.

*untuk seorang teman, yang selalu membuat saya ingin mengguncang bahunya sambil berteriak, “It’s 2014 already, dude! Just move on and look around. Or … that you-don’t-know-what-you’ve-got-until-it’s-gone phrase is still not clear enough for you?

Fragmen Sketsa · Tarian Pena

Risalah Sembilan Sebelas

Hujan dan pekatnya malam berkonspirasi meretaskan rindu yang tak kunjung melayu

Mengoyak cerita yang pernah kita renda berdua, dengan sebuah prolog sederhana

Bukan dengan puisi

Aku tahu, bahkan kau pun tak mampu memilah diksi

Kau hanya melarik sebait janji yang katanya akan kau genapi

Bulan sembilan, kau datang bersama bunga yang katamu tak akan mati. Katamu aku adalah pelangi, pewarna merah hati. Pada rumpun bunga abadi, kau menyisipkan secarik asa. Aku boleh membukanya ketika kita tiba di penanjakan. Kita akan menitinya bersama, katamu dengan binar di sudut mata.

Bertahun berlalu

Semua masih begitu lekat

Seperti sembilu yang menelusuk terlampau lamat

Mungkin terlalu banyak cerita untuk kita bagi berdua, tapi kita terlalu lelah untuk melumatnya. Pada suatu senja, kita terduduk bisu. Aku mencuri lihat dalam remang. Di pelupukmu tak ada lagi pelangi. Pelangi sudah mati, mungkin sejak tempo hari. Samar, aku melihat siluet mentari jingga pada kedua  manik matamu.

Mereka bilang aku sesat akal

Menyimpan cerita yang berakhir tanpa pernah terselesaikan

Menggenggam bongkahan ingatan yang bahkan tak lagi kau indahkan

Mengenang perpisahan yang tak sempat terkatakan

Bulan sebelas. Aku menandai almanak. Hari yang sama, angka yang sama. Bukan sekedar kebetulan, aku rasa. Rumpun bunga abadi dan sebilah janji di bulan kesembilan masih menari-nari.

Tidak banyak yang tahu

Aku hidup berkalang rindu

Hari itu pelangi seutuhnya pudar. Kau tidak mengizinkan bening hujan merintik supaya pelangi tak lagi terbit. Kau hanya ingin matahari. Katamu kau tak lagi perlu pulasan warna-warni. Kau hanya ingin semburat jingga, hanya ingin matahari senja.

Waktuku masih terhenti di sini, merekam setiap memorabilia rasa

Jika di sana engkau jenuh, berlarilah padaku

Di sini ada begitu banyak cadangan rindu, yang bisa aku titipkan untuk sementara waktu

11.11.12

Fragmen Sketsa · Tarian Pena

Orkes Hati Nurjanah

“Pokoknya gue ogah nyanyi ‘ni malem!” tukas Nur.

“Lu kudu main! Liat tuh penonton udah ngejubel nungguin penyanyi dangdut kesohor di kampung ‘ni!” Rohman balas menggertak. Tangannya menunjuk arah panggung.

Nur dapat mendengar namanya dielu-elukan. Biduan itu mengintip dari celah di gorden usang yang memisahkan ruang ganti dengan panggung. Ratusan penonton mendesak idola Kampung Dendang itu segera keluar dan memuaskan jiwa-jiwa yang haus hiburan.

“Gue capek, Man!” Nur terduduk lesu di depan meja rias. Wajahnya sudah dibubuhi make up tebal.

“Kagak bisa! Kalo lu kagak naik panggung, kontrakan nyang udeh nunggak tiga bulan itu kagak kebayar. Ayolah, Nur,” dengan lirih Rohman memohon sembari mengusap pipi kekasihnya itu. Di luar, suara orkes mulai membahana. Pekikan keyboard diiringi tabuhan gagah drum dan lengkingan gitar listrik.

“Elu cuman mikirin dirilu sendiri doang, Man! Lu kagak ngarti pan pagimane gue capeknye kaya begini!” air mata jatuh di pipi Nur.

“Nur, ini semua gua lakuin demi kita. Demi … kawinan kita,”

Nur tersentak. Kalimat tadi tiba-tiba mampu melelehkan niat mogok manggungnya. Nur sadar. Rencana pernikahannya memang berbeda dari orang kebanyakan dan untuk itu ia memerlukan uang yang banyak, sangat banyak. Ia ingin menjadi istri Rohman yang sah, tetapi hal itu hanya bisa terjadi jika mereka menikah di tempat yang sangat jauh itu.

Nur menyerah. Dipakainya rambut palsu berwarna cokelat tua, menutupi rambut cepaknya. Dan ketika ia mengenakan gaun merah berkelap-kelip, transformasi itu kian sempurna. Nurhadi bermetamorfosa menjadi Nurjanah, sang biduan dangdut kenamaan di Kampung Dendang.

 

*Flash fiction pertama yang coba saya buat. Cukup sulit ternyata menceritakan sebuah sketsa dengan keterbatasan kata.

*Pada akhirnya, FF ini dimuat di di buku Kumpulan Flash Fiction Ninelights: Mahakarya

Fragmen Sketsa · Tarian Pena

Dini Hari yang Frustasi

Televisi berkelap-kelip, memecah senyap yang enggan berkedip. Di dalam kotak dua puluh empat inci ada pertandingan bola. Panzer kontra negara seribu dewa. Di lapangan hijau, hampir dua lusin lelaki berkejaran risau. Merubungi bundar bola seperti pasukan semut lapar bongkahan gula. Separuh babak pertama hendak usai. Belum ada yang mencetak nilai. Alot! Penyerang dan pemertahan sama ngotot.

Percobaan pertama, tidak kena!

Percobaan kedua, tak lolos juga!

Percobaan ketiga dan kesekian lalu berakhir sama.

Raut kaku di sana-sini. Pemain meraung, pelatih mengaduh, dan penonton berjeritan saban kali bola melintir dari gawang. Beberapa wajah diselubungi ragu, separuh lagi sendu.

Di atas keramik juga tengah bertarung sengit cicak dan lipan. Masing-masing seekor jumlahnya. Keduanya berperang dalam diam. Mengamati titik lemah lawan sembari menerka-nerka. Cicak yang lapar tak akan melepaskan mangsa. Pun, lipan tak pernah berbesar hati untuk dimangsa. Satu menit, dua menit, tetap bergeming. Satu menit, dua menit, tak beranjak. Seperti dua buah pajangan baru di ruang tamu.

Lanjutkan membaca “Dini Hari yang Frustasi”