Sebut saya kurang update, tapi saya memang cukup terlambat mengetahui hal ini. Kalau siang itu saya tidak membuka jejaring sosial, mungkin saya akan melewatkan kesempatan ini lagi. Entah karena publikasinya yang kurang masif atau saya yang tidak aktif. Sejak tanggal 3 Juli 2014, beberapa bioskop jaringan XXI memutar kompilasi film peraih penghargaan XXI Short Film Festival 2014. Ketika informasi itu tiba di telinga saya, tinggal satu bioskop yang masih menempatkan film tersebut dalam daftar tayangannya. Entah karena memang sudah kedaluwarsa atau tidak banyak bioskop yang mau memberikan slot untuk film-film semacam ini.
Sebenarnya saya menyukai film Indonesia. Dengan catatan, bukan film yang menjual perempuan-perempuan absurd–baik yang masih hidup dan masih bisa menggunakan pakaian seksi maupun yang sudah berwujud kuntilanak. Maka saya sangat menyayangkan ketika film ini cukup cepat berlalu dari bioskop-bioskop di ibu kota.
Film pendek pertama bercerita tentang pertemuan Handi dan Genda di sebuah kedai kopi. Tidak banyak plot yang terjadi. Cerita berpusat pada perbincangan antara kedua tokoh–Genda yang resah dan Handi yang gemar menggunakan metafora. Saya menikmati film ini dengan kerutan-kerutan di kening. Di satu sisi saya terpukau dengan diksi sophisticated yang meluncur mulus dari mulut Handi, tapi di sisi lain saya kesulitan menebak-nebak absurditas pikiran Genda. Film berjudul Horison ini mengajak penonton untuk larut dalam kisah seraya menebak-nebak jalan cerita. Ketika keluar dari ruang teater, saya pun belum bisa menduga korelasi antara perumpaan Handi (tentang biru-laut-ikan) dan hubungan Genda-Andre yang tak direstui orang tua.
Asiaraya menjadi film kedua yang berada dalam daftar kompilasi. Ide cerita yang dituangkan oleh para sineas-nya boleh diacungi jempol. Mereka mencoba mengisi kisah-kisah yang kosong pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Dengan alur yang tertata, Asiaraya mencoba menjelaskan bahwa kemerdekaan negara tidak lepas dari bantuan pihak lain–pihak yang sekaligus menjajah kita. Seorang jenderal Jepang ternyata juga memiliki dedikasi untuk memperjuangkan kebebasan Indonesia. Uniknya, film ini dibuat dalam bentuk animasi. Saya jadi terpikir, mungkin Indonesia harus lebih banyak memproduksi film-film animasi bertema sejarah. Hal itu bisa menjadi alternatif media pembelajaran–bukan cuma buat anak-anak tapi juga orang dewasa yang terkadang amnesia terhadap masa lalu.
Film pendek ketiga, Akar, rupanya adalah sebuah dokumenter mengenai kehidupan keluarga Tionghoa di Pulau Jawa. Awalnya saya pikir film ini akan terus menerus menyoroti kehidupan sehari-hari keluarga Amelia Hapsari (sang pembuat film). Rupanya, dibalik dialog-dialog dan adegan nyata itu, ada pesan penting yang hendak disampaikan. Keluarga ini memang memiliki relasi langsung dengan negeri Tiongkok. Kakek nenek Amelia datang langsung dari daratan Cina untuk kemudian menikah dan menciptakan keturunan yang terus beranak pinak. Kini, sekalipun memiliki rupa yang berbeda dengan warga pribumi, tak pernah sekalipun tebersit keinginan untuk kembali ke negeri asal leluhur mereka. Bagi mereka, Indonesia adalah rumah–tempat yang selalu membuat mereka ingin pulang. Seperti yang dikatakan salah satu tokoh di film itu, “Balik nang Indonesia wae, paling enak nang Indonesia.”
Lanjutkan membaca “[Film Review] XXI Short Film Festival 2014”