Kicau Kacau

Katak

Setiap malam, rumah dinas yang saya tempati di Lebong akan berubah wujud menjadi Museum Reptil dan Serangga. Berbagai serangga—mulai dari sekelas laron, belalang, kumbang, sampai unidentified flying object insect—akan mengepung kami, disusul dengan katak dan cicak. Kami bahkan pernah disinggahi oleh kadal dan ular! Sebagai perempuan-perempuan yang sudah terlatih menghadapi bangsa reptil (semacam buaya darat), kami bukannya takut, justru merasa kesal karena harus bolak-balik menyapu sayap laron atau kotoran katak.

Awalnya hewan-hewan itu masih malu-malu dan tahu diri, cuma bermain di bagian belakang rumah. Tapi, belakangan mereka kian berani menginvasi setiap sudut rumah. Dari semua hewan itu, yang paling ngelunjak adalah katak. Tadinya mereka hanya menguasai area dapur, hingga akhirnya menjajah ruang tamu. Jadi, pepatah “katak di dalam tempurung” sebaiknya direvisi. Zaman sekarang, kehidupan katak sudah beralih ke dalam lemari atau ke atas sofa.

Suatu hari, seekor katak kecil asyik berburu mangsa hingga ke ruang tamu. Dia tidak terlihat takut dengan manusia di sekitarnya, padahal jarang sekali katak-katak itu muncul jika ada manusia. Mungkin dia masih newbie dan belum mengenal risiko. Atau justru karena dia belum paham akan bahaya yang mengintai. Ia terus menjauh dari zona amannya, sampai akhirnya datanglah petaka itu. Tidak tahu bagaimana caranya, katak gendut itu tiba-tiba terjepit pintu dan tidak bisa meloloskan diri. Kami, yang tidak ingin mendapati mayat katak di sela pintu, akhirnya membantu katak itu keluar dengan selamat. Walaupun si katak kecil menjadi pincang, dia tetap tidak takut bermain di sekitar situ. Di hari-hari berikutnya, si katak kecil menjadi penguasa ruang tamu, mendapatkan makanan paling banyak, bahkan jejaknya diikuti oleh katak-katak lain yang lebih dewasa.

***

Belum sampai dua minggu saya kembali ke pangkuan ibukota. Tapi, dalam rentang waktu tersebut, sudah banyak momen yang dilewati, orang yang ditemui, dan kebaikan yang didapatkan. Tanpa diduga, masa-masa pengangguran ini justru memberikan banyak pencerahan.

Ketika mendatangi reuni berbagai kelompok pertemanan semasa kuliah, saya mendapatkan banyak insight. Bukan cuma tawa-tanpa-beban-seperti-waktu-muda, tapi juga cerita-cerita hebat dari seluruh penjuru Indonesia. Kebanyakan teman saya ditempatkan di wilayah timur Indonesia yang kulturnya sangat berbeda dengan bagian barat. Saya juga dibuat takjub dengan upaya mereka menyelenggarakan fasilitas kesehatan dengan segala keterbatasan. Mendadak, saya merasa bahwa masa internship saya telah terlewati dengan “gitu-gitu aja”.

Hal yang paling menyebalkan dari sebuah pertemuan, bagi orang melankolis, adalah perpisahan. Waktu reuni berakhir, saya sempat berpikir bahwa kami akan bertemu lagi keesokan harinya di kampus–seperti waktu dulu. Nyatanya, kami harus berpisah dan menata hidup masing-masing. Menjadi orang dewasa yang tugasnya bukan lagi bermimpi sebesar-besarnya, tapi mewujudkan mimpi itu sendiri. Kami harus belajar keluar dari zona nyaman dan aman selama ini. Reality bites! I don’t mind going back to the class or become co-ass so that we can laugh at hospital corridor like dozen idiots everyday.

Pada beberapa kesempatan, saya juga bertemu dengan orang-orang inspiratif yang sontak membuat hidup saya bagaikan butiran debu–dan tak henti-hentinya bertanya ke diri sendiri “udah ngapain aja lo selama ini?”. Duh, memang dasarnya saya ini gampang sekali dibuat terpukau dengan orang-orang hebat. Pemulung di pinggir jalan pun bisa menjadi inspirasi buat saya. Dangkal? Biarlah, kalau kata orang Lebong.

Saya bertemu dengan teman baru, seorang dokter lulusan Unhas yang seusia dengan saya, tapi sudah sangat kaya. Ini bukan tentang materi atau finansial (lucunya, saya tidak pernah dibuat terkesan kalau soal itu). Teman saya ini perempuan, tapi berani mengambil pekerjaan-pekerjaan yang menantang. Dia sudah dua kali mengikuti Operation Wallacea (sebuah kegiatan penelitian di hutan Sulawesi) serta berbagai proyek di alam liar. Teman saya ini bukan cuma menginspirasi lewat keberaniannya, tapi juga membuka mata saya terhadap peluang profesi yang tersedia.

Dulu saya mengira bahwa siklus hidup seorang dokter sudah ada template-nya. Mengisi pengalaman kerja—sekolah spesialis—naik derajat jadi konsulen—menjadi klinisi sampai renta—berada di rumah sakit sampai hari tua—melayani masyarakat sampai tangan tremor. Rupanya, profesi ini jauh lebih luas dari yang saya bayangkan. Saya juga sempat bertemu dengan dokter-dokter senior non-klinisi yang superinspiratif dan berhasil menggoyahkan minat saya selama ini.

Dalam waktu yang singkat, saya mendapat banyak pelajaran. Mata saya menjadi begitu terbuka. Saya jadi ingat katak kecil di rumah dinas itu. Kalau dia tidak berani melangkah jauh dari zona nyamannya, dia tidak akan menjadi penguasa ruang tamu dan menginspirasi koloninya. Dia pasti akan terkungkung selamanya di kolong meja dapur yang gelap dan pengap.

Kalau katak saja sudah berani keluar dari tempurungnya, masa saya tidak?

Ayo, keluar dari tempurung!

3 tanggapan untuk “Katak

      1. Jadi katak beneran itu petualangan yang lebih dari sekadar keluar dari tempurung. Ya, pokoknya, jadi beneran itunya lah.

        Haha. Ini pertama kalinya kalimat itu dibalikin ke gue!

Tinggalkan komentar