Kicau Kacau

Belajar Menulis Dan Mengembalikan Kewarasan

Jangan tanya berapa lama waktu yang saya habiskan untuk membuat tulisan ini. Sepanjang proses menulis, jari-jari saya hanya sibuk berkutat pada siklus backspace-spasi-enter-backspace. Writer’s block? Saya bahkan tidak berani meminjam istilah tersebut. How dare you say “writer’s block” if you’re not a writer (anymore)?

Sejak postingan terakhir di bulan Maret 2015, saya hampir tidak pernah lagi menyentuh blog ini. Awalnya saya menggunakan alibi susah sinyal sebagai pembenaran untuk rehat dari kegiatan menulis. Sepuluh bulan tinggal di sebuah desa di Kabupaten Banggai membuat saya terbiasa hidup tanpa media sosial.

Setelah kembali ke Jakarta dan menemukan sinyal yang berlimpah, ternyata saya juga tidak kunjung menulis. Jakarta mengubah saya menjadi manusia urban dewasa yang mengizinkan dirinya disetir oleh rutinitas. Saya bahkan tidak lagi membaca buku, kecuali buku persiapan ujian masuk magister dan materi kuliah. Ah, ya, sejak awal tahun lalu, saya melanjutkan pendidikan Magister Kedokteran Kerja di FKUI.

Hiburan instan yang paling mudah saya dapatkan adalah media sosial. Facebook dan Instagram menjadi hal yang paling sering saya kunjungi, selain halaman chat dengan pacar–yang sekarang sudah menjadi suami saya. Yap, saya baru saja menikah! Kita bicara soal ini kapan-kapan, ya.

Dua tahun lebih blog ini terbengkalai, barangkali nyaris jadi bangkai kalau saya tidak segera sadar. Dua tahun ini saya terlalu banyak menghabiskan waktu dalam jebakan visual di ruang maya–dan makin menjadi-jadi ketika saya mempersiapkan pernikahan. Media sosial memang menawarkan kesenangan sekaligus ketergantungan yang luar biasa.

Meskipun tidak sampai pada tahap kecanduan berat, tapi toh media sosial tetap memberikan pengaruh bagi saya. Instagram dan Facebook hampir mengubah persepsi saya tentang kebahagiaan. Kebahagiaan lantas dinilai dari seberapa sering seseorang mengunggah foto tempat keren dan kekinian, ekspresi candid yang menunjukkan wajah sumringah, atau kutipan-kutipan bijak (yang seringnya tidak nyambung dengan tema foto). Puncaknya adalah ketika saya mulai mengikuti akun-akun vendor pernikahan. Niat awal hanyalah untuk mencari referensi, tapi kok tanpa sadar saya mulai membanding-bandingkan rancangan pernikahan saya dengan postingan-postingan yang berseliweran di Instagram. Saya pun jadi sering pundung tanpa sebab yang jelas.

Media sosial dan para pengikutnya (termasuk saya) tidaklah salah. Instagram, Facebook, Twitter, dan sebagainya hanya cerdik memanfaatkan peluang bisnis. Mereka menjual kebutuhan manusia dari tingkatan yang paling tinggi menurut Maslow: penghargaan dan aktualisasi diri. Yang membuat keberadaan mereka menjadi salah adalah respon kita sendiri.

Seminggu sebelum hari pernikahan, saya mulai berhenti mengikuti akun-akun vendor. Saya ingin pernikahan ini berjalan sesuai rencana kami berdua, bukan dikendalikan oleh hal-hal yang katanya sedang hits, apalagi untuk diperlombakan dalam pameran linimasa. Saya juga mengurangi intensitas membuka aplikasi media sosial sampai saat ini. Rasanya luar biasa! Saya betul-betul bisa menikmati hari pernikahan saya, dan hari-hari sesudahnya, tanpa diganggu dengan perasaan “membanding-bandingkan”. Saya tidak lagi mengukur kebahagiaan dari takaran visual yang tampak di layar 7 inchi.

Saya memang belum berani menghapus aplikasi media sosial, tapi setidaknya saya ingin mencoba belajar dari awal lagi. Meninggalkan proses menulis, dan menggantikannya dengan jebakan visual di ruang maya, telah menyisakan semacam rasa bersalah.

Meskipun klise, namun katanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?

Satu tanggapan untuk “Belajar Menulis Dan Mengembalikan Kewarasan

Tinggalkan komentar