Kicau Kacau

Tiga Mitos Internship

Ketika tulisan ini dibuat, bukan berarti saya belum move on dari status dokter internship. Bukan juga karena mau kasih kode ke anak internship. Bukan.

Kemarin saya mendapat kabar bahwa pendaftaran internship sudah dibuka lagi. Akhirnya teman-teman dan adik kelas saya–yang kemarin menjadi korban kekacauan birokrasi–mendapatkan sedikit titik terang.

Saya pun sempat dihujani pertanyaan-pertanyaan teknis seperti:

Berapa insentif daerahnya?
Gimana biaya hidup di sana?
Dapet fasilitas apa?
Internet lancar?
Ada tempat wisatanya nggak?
Siapa pacar sekarang?

Lanjutkan membaca “Tiga Mitos Internship”

Kicau Kacau

Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  

Setahun lalu, ketika mendengar nama Lebong untuk pertama kalinya, saya agak kelimpungan. Waktu itu, Wikipedia dan Google Map belum memuat informasi tentang kabupaten tersebut. Kelompok internship saya pun tak henti-hentinya bertanya, “Kenapa harus di Lebong?”. Kami bahkan sempat berpikir untuk melakukan transfer wahana. Dibandingkan wahana internship tetangga, dari segi apa pun, Lebong memang terbilang minimalis. Tapi, toh, every cloud has a silver lining. Ada banyak hal yang wajib saya syukuri selama ditempatkan di kabupaten ini.

1. Lembang dan Bromo KW Empat

Wilayah Lebong menyerupai ceruk yang dikelilingi oleh perbukitan (atau pegunungan mini?). Praktis, udara di sini relatif sejuk mendekati dingin, khususnya di pagi hari. Kalau mau disamakan, udara di Lebong bisa dibilang mirip dengan Lembang, Jawa Barat. Pada waktu-waktu tertentu, kabut bisa turun sangat tebal, sedikit mengingatkan saya dengan Bromo (tentu tanpa supir jeep atau pengendara kuda yang mirip artis FTV).

Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!
Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!

Di kota ini, hujan sering turun tiba-tiba. Tanpa pertanda, kumulonimbus akan datang dan memuntahkan air dengan deras. Tidak seperti di Jakarta, yang mendungnya hanya seperti basa-basi tanpa realisasi. Yang menyenangkan sekaligus melegakan, meskipun derasnya hampir menyerupai badai, hujan di Lebong tidak pernah diiringi petir dan guruh.

2. Tanpa Drama AADC Jilid Dua

Idiom “anak internship susah pulang” tidak berlaku untuk Lebongers. Jadwal jaga yang lowong dan fleksibel membuat kami bisa sering pulang. Apalagi harga tiket pesawat ke Bengkulu juga lebih terjangkau—dibandingkan daerah Indonesia tengah dan timur. Jangankan pulang waktu puasa atau Lebaran, pulang di setiap purnama juga bisa. Oh, ya, berhubung sama-sama wilayah Indonesia Barat, satu purnama di Jakarta dan Lebong masih sama, FYI.

Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong
Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong

3. Kebutuhan Hidup Dasar Yang Komplit

Kebetulan saya bukan orang yang keranjingan dengan mall, bioskop, atau fasilitas hedon lainnya. Jadi buat saya, Lebong telah menyediakan kebutuhan hidup dasar yang lebih dari cukup: air bersih, listrik 24 jam, fasilitas internet, serta toko bahan pangan. Biaya hidup di tempat ini juga relatif sama dengan Jakarta. Catatan: syarat dan ketentuan berlaku.

4. Kesempatan Jelajah Sumatra

Objek wisata di Lebong, bahkan di Kota Bengkulu, memang sangat minim. Jadi jangan harap bisa sering-sering memenuhi halaman Instagram dengan foto eksotis—seperti yang dilakukan teman-teman di wahana lain. Tapi, jangan dulu kecewa. Waktu yang kelewat luang bisa dimanfaatkan untuk melakukan wisata trans-Sumatra. Beberapa waktu lalu saya menjajal jalur lintas Sumatra selama 18 jam untuk menuju Bukittinggi. Terlalu jauh? Masih banyak opsi daerah yang lebih dekat. Kamu bisa mencoba sarapan pempek langsung di Palembang, menonton sirkus gajah di Lampung, atau–untuk para aktivis lingkungan hidup–menjadi volunteer pemadaman kabut asap di Jambi.

Lanjutkan membaca “Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  “

Kicau Kacau

Sekarung Durian, Sebuket Bunga Rumput, dan Sebongkah Rasa Nyaman

Dua hari lalu, 27 Mei 2014, merupakan tanggal yang perlu mendapat tempat dalam jurnal harian saya. Tepat pada hari itu, saya telah resmi menjadi anak rantau selama 6 bulan! Awalnya saya tidak sadar sedikitpun. Tetapi status media sosial teman-teman membuat saya terjaga. Kebanyakan dari mereka tampak begitu antusias menyambut hari itu, seolah-olah perayaan 6 bulanan ini adalah selebrasi yang patut dikultuskan. Sebagian orang bahkan setia memperbarui status messenger dengan menghitung mundur sisa waktu internsip ini.

Saya mencoba untuk menangkap berbagai definisi rasa yang mereka tuangkan dalam beberapa baris kalimat itu. Dan sebagian besar sepertinya menyerukan hal yang sama: bahagia karena rutinitas ini sudah berlangsung separuh jalan dan segalanya akan segera berakhir. Saya tidak bisa tidak setuju dengan apa yang mereka rasakan. Ya, saya juga senang. Tapi, tunggu, ada sebagian kecil dari diri saya yang justru ingin mengatakan: rutinitas ini tinggal berlangsung separuh jalan dan segalanya akan segera berakhir. Ada sesuatu yang mencegah endorfin saya tereksitasi sepenuhnya dan merasa bahagia seutuhnya.

Lanjutkan membaca “Sekarung Durian, Sebuket Bunga Rumput, dan Sebongkah Rasa Nyaman”

Kicau Kacau

Salam Dari Lebong

“Panggilan terakhir kepada penumpang Garuda Indonesia GA 625 tujuan Bengkulu, harap segera naik ke pesawat”

Suara perempuan muda itu bergema lagi. Sementara itu, 16 anak muda masih sibuk mengerumuni loket group check in di Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta.  Tumpukan koper-koper berukuran jumbo memenuhi hampir separuh ruangan besar itu, belum sempat masuk ke dalam bagasi yang terlanjur ditutup karena lewat dari batas waktu check in.

Beberapa wajah tampak cemas dan tegang. Syukurlah, perkara bagasi yang tertinggal itu bisa terselesaikan dengan cepat. Dan kami–sebagian dokter internsip yang akan berdinas di Provinsi Bengkulu–berlarian menuju pesawat yang siap lepas landas. Semacam adegan-adegan di film. Berlarian di koridor, bilang “misi-misi” ke orang-orang yang menutupi jalan, selap-selip di antara kerumunan manusia. What an unexpected starting point!

Pesawat yang dijadwalkan berangkat pukul 05.25 baru dapat terbang pukul 06.40 WIB. Kami tiba di Bandara Fatmawati Bengkulu pukul 07.30 dan langsung disambut terik matahari yang sangat menyengat! Jangan lupa pakai sunblock tinggi SPF setiap kali menginjakkan kaki di Bekuleuw (bahasa Rejang dari “Bengkulu”)!

 1386686764709

Lebong, Kabupaten Tak Terpetakan

Jangan tanya kenapa saya dan teman-teman memilih Kabupaten Lebong, Bengkulu menjadi tempat internsip kami. Jangan aja. Karena kami sendiri juga nggak tahu jawabannya. 😀

Lanjutkan membaca “Salam Dari Lebong”