Fragmen Sketsa

Sekeping Chip di Kepala Hawa  

Aku rasa ini bukanlah sebuah kebetulan.

Aku berjalan di koridor yang sama, yang cat dindingnya sudah mengelupas di beberapa tempat. Penghiduku segera mengenali aroma yang familiar—kombinasi dari bau ruangan laundry dan restoran cepat saji. Brankar-brankar berlarian menciptakan decit yang menggemaskan. Orang-orang berkostum putih lalu lalang dengan wajah sibuk dan terburu-buru.

Biasanya aku tidak sempat memerhatikan sekitar. Biasanya aku menjadi bagian dari kumpulan-orang-yang-berjalan-tergesa-gesa-dan-fokusnya-entah-di-mana. Tapi, hari ini lain. Aku punya terlalu banyak waktu untuk mengukur lebar dinding yang terkelupas, menebak merek pengharum seprai bangsal, atau mengamati muka-muka tegang yang berseliweran.

Aku juga punya terlalu banyak waktu—dan terlalu sedikit alasan—untuk tidak menghindarimu.

Akhir-akhir ini aku memang jarang berdoa. Tapi, tidak semestinya Tuhan membalasku dengan cara seperti ini. Mataku terkunci di persimpangan itu, pada sebuah bayangan yang menyerupai kamu. Ia terus mendekat. Lama-kelamaan ia tidak lagi menyerupai kamu.

Karena bayangan itu tak lain adalah kamu.

Kamu terlihat kuyu. Sudah berapa malam kamu tidak tidur? Bobot badanmu juga sepertinya terkuras habis-habisan. Jas putihmu itu terlihat sedikit kedodoran, tahu. Pasti kamu terlalu sibuk mengurusi menu makanan senior—sementara jadwal makanmu sendiri hancur berantakan. Dari dulu kamu selalu begitu. Kelewat sibuk mendahulukan urusan orang lain lalu mengabaikan dirimu sendiri—dan orang-orang dekatmu. Iya, kan?

Lanjutkan membaca “Sekeping Chip di Kepala Hawa  “

Kicau Kacau

Kejutan Kilat

“Yakin mau ke sana?”

“Kok cepet bangeeet ciiin!!!”

“Weekend ini banget???”

“Kenapa mendadak gitu?!?!”

“Sediihhh. Tapi nanti bisa sering pulang kaan??”

“Gila gue kaget banget nih, Cint! Syok!”

“Bohong kaaan loo?!”

“Aaaaak…sedih banget dengernyaa”

“Kita harus ketemu dulu!”

“Sedih banget gw cinn. Nggak boong.”

Kalau handphone adalah manusia, LCD HP saya pasti sudah basah dan sembab karena banyak menerima emoticon sedih dan menangis. Bisa jadi, ia pun mengalami cardiac arrest karena dibuat terkejut berulang kali. Sejak kemarin sampai hari ini, HP saya memang dibanjiri air mata virtual dan ekspresi kaget yang masif. Dari kemarin, kalimat-kalimat seperti di atas terus bermunculan di layar ponsel saya. Semua bermula dari sebuah pesan singkat di pagi hari.

“Cinthya, kemungkinan kamu berangkat weekend ini, ya.”

Singkat. Tapi berhasil mengubah segala.
Lanjutkan membaca “Kejutan Kilat”

Kicau Kacau

Katak

Setiap malam, rumah dinas yang saya tempati di Lebong akan berubah wujud menjadi Museum Reptil dan Serangga. Berbagai serangga—mulai dari sekelas laron, belalang, kumbang, sampai unidentified flying object insect—akan mengepung kami, disusul dengan katak dan cicak. Kami bahkan pernah disinggahi oleh kadal dan ular! Sebagai perempuan-perempuan yang sudah terlatih menghadapi bangsa reptil (semacam buaya darat), kami bukannya takut, justru merasa kesal karena harus bolak-balik menyapu sayap laron atau kotoran katak.

Awalnya hewan-hewan itu masih malu-malu dan tahu diri, cuma bermain di bagian belakang rumah. Tapi, belakangan mereka kian berani menginvasi setiap sudut rumah. Dari semua hewan itu, yang paling ngelunjak adalah katak. Tadinya mereka hanya menguasai area dapur, hingga akhirnya menjajah ruang tamu. Jadi, pepatah “katak di dalam tempurung” sebaiknya direvisi. Zaman sekarang, kehidupan katak sudah beralih ke dalam lemari atau ke atas sofa.

Suatu hari, seekor katak kecil asyik berburu mangsa hingga ke ruang tamu. Dia tidak terlihat takut dengan manusia di sekitarnya, padahal jarang sekali katak-katak itu muncul jika ada manusia. Mungkin dia masih newbie dan belum mengenal risiko. Atau justru karena dia belum paham akan bahaya yang mengintai. Ia terus menjauh dari zona amannya, sampai akhirnya datanglah petaka itu. Tidak tahu bagaimana caranya, katak gendut itu tiba-tiba terjepit pintu dan tidak bisa meloloskan diri. Kami, yang tidak ingin mendapati mayat katak di sela pintu, akhirnya membantu katak itu keluar dengan selamat. Walaupun si katak kecil menjadi pincang, dia tetap tidak takut bermain di sekitar situ. Di hari-hari berikutnya, si katak kecil menjadi penguasa ruang tamu, mendapatkan makanan paling banyak, bahkan jejaknya diikuti oleh katak-katak lain yang lebih dewasa.

***

Belum sampai dua minggu saya kembali ke pangkuan ibukota. Tapi, dalam rentang waktu tersebut, sudah banyak momen yang dilewati, orang yang ditemui, dan kebaikan yang didapatkan. Tanpa diduga, masa-masa pengangguran ini justru memberikan banyak pencerahan.
Lanjutkan membaca “Katak”