Kicau Kacau

Hai, Banggai!  

Seharusnya postingan ini sudah dipajang sejak beberapa waktu lalu. Tapi, keterbatasan akses internet memaksa saya terus menundanya.

Sudah hampir dua bulan saya berada di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kurun waktu ini merupakan masa adaptasi yang lumayan menantang. Tidak jarang saya menggeragap ketika terbangun dari tidur. Kadang merasa berada di Jakarta, kadang seperti membaui aroma rumah dinas di Lebong.

Disorientasi. Entah kenapa perantauan kali ini terasa berbeda. Mungkin karena keberangkatan saya ke tempat ini lumayan mendadak. Mungkin juga karena jeda yang terlalu singkat antara masa internship dan bekerja. Entah harus senang atau sedih.

Saat ini saya lebih kangen Jakarta, rindu keluarga, sering memimpikan teman-teman, ingin cepat pulang, mau ini itu, dan sejuta hal manja lainnya.

Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai
Pemandangan Kota Luwuk, Ibukota Kabupaten Banggai

Lanjutkan membaca “Hai, Banggai!  “

Kicau Kacau

Tiga Mitos Internship

Ketika tulisan ini dibuat, bukan berarti saya belum move on dari status dokter internship. Bukan juga karena mau kasih kode ke anak internship. Bukan.

Kemarin saya mendapat kabar bahwa pendaftaran internship sudah dibuka lagi. Akhirnya teman-teman dan adik kelas saya–yang kemarin menjadi korban kekacauan birokrasi–mendapatkan sedikit titik terang.

Saya pun sempat dihujani pertanyaan-pertanyaan teknis seperti:

Berapa insentif daerahnya?
Gimana biaya hidup di sana?
Dapet fasilitas apa?
Internet lancar?
Ada tempat wisatanya nggak?
Siapa pacar sekarang?

Lanjutkan membaca “Tiga Mitos Internship”

Kicau Kacau

Katak

Setiap malam, rumah dinas yang saya tempati di Lebong akan berubah wujud menjadi Museum Reptil dan Serangga. Berbagai serangga—mulai dari sekelas laron, belalang, kumbang, sampai unidentified flying object insect—akan mengepung kami, disusul dengan katak dan cicak. Kami bahkan pernah disinggahi oleh kadal dan ular! Sebagai perempuan-perempuan yang sudah terlatih menghadapi bangsa reptil (semacam buaya darat), kami bukannya takut, justru merasa kesal karena harus bolak-balik menyapu sayap laron atau kotoran katak.

Awalnya hewan-hewan itu masih malu-malu dan tahu diri, cuma bermain di bagian belakang rumah. Tapi, belakangan mereka kian berani menginvasi setiap sudut rumah. Dari semua hewan itu, yang paling ngelunjak adalah katak. Tadinya mereka hanya menguasai area dapur, hingga akhirnya menjajah ruang tamu. Jadi, pepatah “katak di dalam tempurung” sebaiknya direvisi. Zaman sekarang, kehidupan katak sudah beralih ke dalam lemari atau ke atas sofa.

Suatu hari, seekor katak kecil asyik berburu mangsa hingga ke ruang tamu. Dia tidak terlihat takut dengan manusia di sekitarnya, padahal jarang sekali katak-katak itu muncul jika ada manusia. Mungkin dia masih newbie dan belum mengenal risiko. Atau justru karena dia belum paham akan bahaya yang mengintai. Ia terus menjauh dari zona amannya, sampai akhirnya datanglah petaka itu. Tidak tahu bagaimana caranya, katak gendut itu tiba-tiba terjepit pintu dan tidak bisa meloloskan diri. Kami, yang tidak ingin mendapati mayat katak di sela pintu, akhirnya membantu katak itu keluar dengan selamat. Walaupun si katak kecil menjadi pincang, dia tetap tidak takut bermain di sekitar situ. Di hari-hari berikutnya, si katak kecil menjadi penguasa ruang tamu, mendapatkan makanan paling banyak, bahkan jejaknya diikuti oleh katak-katak lain yang lebih dewasa.

***

Belum sampai dua minggu saya kembali ke pangkuan ibukota. Tapi, dalam rentang waktu tersebut, sudah banyak momen yang dilewati, orang yang ditemui, dan kebaikan yang didapatkan. Tanpa diduga, masa-masa pengangguran ini justru memberikan banyak pencerahan.
Lanjutkan membaca “Katak”

Kicau Kacau

Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  

Setahun lalu, ketika mendengar nama Lebong untuk pertama kalinya, saya agak kelimpungan. Waktu itu, Wikipedia dan Google Map belum memuat informasi tentang kabupaten tersebut. Kelompok internship saya pun tak henti-hentinya bertanya, “Kenapa harus di Lebong?”. Kami bahkan sempat berpikir untuk melakukan transfer wahana. Dibandingkan wahana internship tetangga, dari segi apa pun, Lebong memang terbilang minimalis. Tapi, toh, every cloud has a silver lining. Ada banyak hal yang wajib saya syukuri selama ditempatkan di kabupaten ini.

1. Lembang dan Bromo KW Empat

Wilayah Lebong menyerupai ceruk yang dikelilingi oleh perbukitan (atau pegunungan mini?). Praktis, udara di sini relatif sejuk mendekati dingin, khususnya di pagi hari. Kalau mau disamakan, udara di Lebong bisa dibilang mirip dengan Lembang, Jawa Barat. Pada waktu-waktu tertentu, kabut bisa turun sangat tebal, sedikit mengingatkan saya dengan Bromo (tentu tanpa supir jeep atau pengendara kuda yang mirip artis FTV).

Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!
Kalau dilihat dari jauh, bukit-bukit di Lebong sedikit mirip dengan Hobbiton. Dari jauh, ya!

Di kota ini, hujan sering turun tiba-tiba. Tanpa pertanda, kumulonimbus akan datang dan memuntahkan air dengan deras. Tidak seperti di Jakarta, yang mendungnya hanya seperti basa-basi tanpa realisasi. Yang menyenangkan sekaligus melegakan, meskipun derasnya hampir menyerupai badai, hujan di Lebong tidak pernah diiringi petir dan guruh.

2. Tanpa Drama AADC Jilid Dua

Idiom “anak internship susah pulang” tidak berlaku untuk Lebongers. Jadwal jaga yang lowong dan fleksibel membuat kami bisa sering pulang. Apalagi harga tiket pesawat ke Bengkulu juga lebih terjangkau—dibandingkan daerah Indonesia tengah dan timur. Jangankan pulang waktu puasa atau Lebaran, pulang di setiap purnama juga bisa. Oh, ya, berhubung sama-sama wilayah Indonesia Barat, satu purnama di Jakarta dan Lebong masih sama, FYI.

Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong
Cinta nggak perlu nunggu 12 tahun kalau Rangga perginya ke Lebong

3. Kebutuhan Hidup Dasar Yang Komplit

Kebetulan saya bukan orang yang keranjingan dengan mall, bioskop, atau fasilitas hedon lainnya. Jadi buat saya, Lebong telah menyediakan kebutuhan hidup dasar yang lebih dari cukup: air bersih, listrik 24 jam, fasilitas internet, serta toko bahan pangan. Biaya hidup di tempat ini juga relatif sama dengan Jakarta. Catatan: syarat dan ketentuan berlaku.

4. Kesempatan Jelajah Sumatra

Objek wisata di Lebong, bahkan di Kota Bengkulu, memang sangat minim. Jadi jangan harap bisa sering-sering memenuhi halaman Instagram dengan foto eksotis—seperti yang dilakukan teman-teman di wahana lain. Tapi, jangan dulu kecewa. Waktu yang kelewat luang bisa dimanfaatkan untuk melakukan wisata trans-Sumatra. Beberapa waktu lalu saya menjajal jalur lintas Sumatra selama 18 jam untuk menuju Bukittinggi. Terlalu jauh? Masih banyak opsi daerah yang lebih dekat. Kamu bisa mencoba sarapan pempek langsung di Palembang, menonton sirkus gajah di Lampung, atau–untuk para aktivis lingkungan hidup–menjadi volunteer pemadaman kabut asap di Jambi.

Lanjutkan membaca “Kenapa Harus (Bahagia) di Lebong?  “

Kicau Kacau

Salam Dari Lebong

“Panggilan terakhir kepada penumpang Garuda Indonesia GA 625 tujuan Bengkulu, harap segera naik ke pesawat”

Suara perempuan muda itu bergema lagi. Sementara itu, 16 anak muda masih sibuk mengerumuni loket group check in di Terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta.  Tumpukan koper-koper berukuran jumbo memenuhi hampir separuh ruangan besar itu, belum sempat masuk ke dalam bagasi yang terlanjur ditutup karena lewat dari batas waktu check in.

Beberapa wajah tampak cemas dan tegang. Syukurlah, perkara bagasi yang tertinggal itu bisa terselesaikan dengan cepat. Dan kami–sebagian dokter internsip yang akan berdinas di Provinsi Bengkulu–berlarian menuju pesawat yang siap lepas landas. Semacam adegan-adegan di film. Berlarian di koridor, bilang “misi-misi” ke orang-orang yang menutupi jalan, selap-selip di antara kerumunan manusia. What an unexpected starting point!

Pesawat yang dijadwalkan berangkat pukul 05.25 baru dapat terbang pukul 06.40 WIB. Kami tiba di Bandara Fatmawati Bengkulu pukul 07.30 dan langsung disambut terik matahari yang sangat menyengat! Jangan lupa pakai sunblock tinggi SPF setiap kali menginjakkan kaki di Bekuleuw (bahasa Rejang dari “Bengkulu”)!

 1386686764709

Lebong, Kabupaten Tak Terpetakan

Jangan tanya kenapa saya dan teman-teman memilih Kabupaten Lebong, Bengkulu menjadi tempat internsip kami. Jangan aja. Karena kami sendiri juga nggak tahu jawabannya. 😀

Lanjutkan membaca “Salam Dari Lebong”

Kicau Kacau

Realita Kehidupan Dokter

Ada yang berbeda dari aktivitas membaca koran Minggu di pagi hari tadi. Biasanya saya hanya membaca sepintas Rubrik Konsultasi Kesehatan. Tapi hari ini saya bertekur cukup lama di hadapan kolom yang diasuh dr. Samsuridjal Djauzi tersebut.

Prof Samsu, begitu murid-muridnya biasa memanggil Beliau, adalah seorang guru besar bagian Ilmu Penyakit Dalam. Entah kenapa Beliau begitu rendah hati untuk tidak mencantumkan gelar Profesor-nya, sedangkan ada beberapa orang yang begitu megalomaniak akan predikat yang disandangnya.  Umurnya sudah tidak muda lagi, tetapi ia masih mau menyempatkan diri untuk mengajar mahasiswa.

Saya ingat betul, pertemuan pertama kami adalah pada kuliah Modul Empati di tingkat 1. Saat itu Beliau menanamkan kepada kami—bocah-bocah yang baru terjebak di rimba kedokteran—pentingnya memiliki sikap empati sebagai seorang dokter. Pada tingkat 5, tepatnya pada stase Ilmu Penyakit Dalam, beliau kembali memberikan kuliah seputar empati dan profesionalisme. Beliau mengingatkan kami akan idealisme yang mungkin telah terkikis akibat “kerja rodi” selama lima tahun.

Saya pribadi menilai Prof Samsu sebagai seorang guru yang sangat luar biasa. Penampilannya sederhana dan menenangkan. Setiap perkataannya selalu sukses menyuntikkan semangat profesionalisme dalam dosis yang tepat. Termasuk dalam artikel yang ditulisnya hari ini.

Tulisan ini kelewat baik untuk saya simpan sendiri saja. Semoga semakin banyak orang yang bisa membaca pemikiran Beliau ini. Untuk adik-adik, atau para orang tuanya, yang bercita-cita menjadi dokter. Untuk tenaga kesehatan yang bisa jadi telah melupakan nilai pengabdian. Untuk mereka yang selalu mengira bahwa dokter bekerja agar bisa mengembalikan modal kuliah.

Semoga saya tidak berlebihan jika menyebut ini sebagai sebuah tulisan bijaksana dari seorang guru yang sangat bersahaja. Setelah membaca tulisan itu, saya jadi terpikir satu hal:

Tanpa cercaan, fitnah, dan tuntutan disana-sini, profesi ini sudah pelik. Sayangnya, orang-0rang lebih suka memandang kegagalan satu individu, alih-alih berkaca pada kebobrokan sistem. Ini bukan soal arogansi profesi, apalagi mengasihani diri sendiri. Ini perkara belajar menghargai.

Lanjutkan membaca “Realita Kehidupan Dokter”

Kicau Kacau

Ketika Macan Berkicau: Sebuah Kritik Atas Kesewenangan Opini

Sudah dua hari belakangan ini hati saya dibuat panas dan mata saya menjadi pedas. Ada fenomena baru yang masih hangat: sebuah polemik di ranah jejaring sosial dengan tema besar “Buruknya Pelayanan RS di Indonesia”. Waw! Membaca satu kalimat itu saja hati saya sudah mencelos. Kontroversi tidak berhenti sampai di situ. Linimasa si pembuat ulah kemudian diramaikan kicauan 140 kata dalam jumlah fantastis. Semuanya menceritakan hal negatif seputar pelayanan kesehatan di Indonesia (baca: mendiskreditkan rumah sakit, dokter, dan pelayan kesehatan lainnya). Bagi yang penasaran ingin mengikuti kicauan-kicauan tersebut, silakan mengklik link di bawah ini

<script src=”http://chirpstory.com/js/parts.js”></script><script>Togetter.ExtendWidget({id:’12011′,url:’http://chirpstory.com/’});</script>

Sebagai salah satu oknum yang disebutkan dalam kultwit-atau-apalah-itu-namanya-saya-tidak-peduli, saya cukup tercakar oleh tajamnya paruh si Macan berkicau. Meskipun hanya berstatus sebagai dokter muda–yang mungkin memiliki strata terendah dalam kehidupan perumahsakitan–entah kenapa saya begitu geram dan naik pitam membaca semua racauan tersebut.

Saya (semoga) bukanlah orang kolot yang tertutup pada kritik. Saya juga (mudah-mudahan) bukanlah manusia munafik atau kelewat naif. Saya tidak menampik bahwa fenomena itu memang ada dan nyata. Saya tidak akan menutup-nutupi bahwa seringkali rumah sakit bertindak semena-mena. Saya tidak mengatakan bahwa semua dokter adalah malaikat penyelamat nyawa dengan kepribadian yang sempurna. Saya juga akan berkata jujur bahwa kami, dokter muda, memang tidak jarang lalai dalam proses pembelajaran praktik klinik.

Yang mengusik nurani saya adalah generalisasi yang dibuat oleh sang penulis! Secara terang-terangan, dia menyebut “para dokter”. Camkan itu! Cetak tebal, garis bawahi, dan warnai dengan tinta merah! Para dokter. Para dokter. Para dokter. Berkali-kali pun dibaca, tetaplah makna yang tersirat dari kata “para dokter” adalah “semua dokter yang ada di Indonesia”. Semua, tanpa eksklusi. Padahal, pada kenyataannya banyak sekali guru saya yang sangat mengutamakan pasiennya, baik dari segi pelayanan medis maupun moral.

Dia juga berbicara perihal kebiasaan “para dokter” yang berorientasi pada uang dalam rangka mengembalikan modal kuliah yang mahal. Astaga! Mendengar ini, betapa sedih hati ribuan mahasiswa kedokteran yang memiliki visi memajukan kesehatan bangsa. Baiklah, beberapa mungkin ada yang berpikir ingin menjadi dokter agar cepat kaya. Tapi, faktanya, saya punya banyak teman yang ingin menjadi dokter dilandasi berbagai alasan mulia, yang sangat jauh dari faktor material. Lagipula, wahai awam, baca ini baik-baik! Guru-guru kami bahkan berulang kali mendoktrin kami dengan kalimat ini, “Kalau mau kaya jangan jadi dokter!”. Kami tidak diajarkan untuk mendayagunakan pasien sebagai mesin pencetak uang! Kami diajarkan untuk melayani, menjadi seorang pelayan.

Masih banyak racauan si Macan yang ingin saya sanggah mentah-mentah. Tapi apalah gunanya, mungkin hanya akan terlihat sebagai alibi belaka di mata orang-orang yang kelewat skeptis semacam itu. Terserah saja bila dia–dan sebagian orang lainnya–ingin terus menghujat profesi ini tanpa melihat dari berbagai sisi. Terserah saja bila mereka mau menggeneralisasi semua institusi pelayanan kesehatan dan petugas medis tanpa validasi bukti.

Mereka hanya tidak tahu keluh kesah kami. Mereka bahkan tidak peduli betapa kami tengah berbenah diri.

Apakah mereka yang berkoar-koar itu sudah tahu perihal peraturan baru di ibukota: setiap korban kecelakaan lalu lintas akan mendapat pengobatan gratis di rumah sakit. Apakah mereka sudah pernah mendengar sistem asuransi universal yang akan memenuhi seluruh kebutuhan pelayanan kesehatan mereka? Apakah mereka sadar bahwa kami kini bekerja di bawah slogan patient’s safety? Apakah mereka mau tahu?

Ah sudahlah, akan tiba suatu masa dimana mereka yang dulu menghujat, nantinya tertawa getir sembari menelan kejahatan opini yang mereka sebut sebagai fakta.