Kicau Kacau

Sekarung Durian, Sebuket Bunga Rumput, dan Sebongkah Rasa Nyaman

Dua hari lalu, 27 Mei 2014, merupakan tanggal yang perlu mendapat tempat dalam jurnal harian saya. Tepat pada hari itu, saya telah resmi menjadi anak rantau selama 6 bulan! Awalnya saya tidak sadar sedikitpun. Tetapi status media sosial teman-teman membuat saya terjaga. Kebanyakan dari mereka tampak begitu antusias menyambut hari itu, seolah-olah perayaan 6 bulanan ini adalah selebrasi yang patut dikultuskan. Sebagian orang bahkan setia memperbarui status messenger dengan menghitung mundur sisa waktu internsip ini.

Saya mencoba untuk menangkap berbagai definisi rasa yang mereka tuangkan dalam beberapa baris kalimat itu. Dan sebagian besar sepertinya menyerukan hal yang sama: bahagia karena rutinitas ini sudah berlangsung separuh jalan dan segalanya akan segera berakhir. Saya tidak bisa tidak setuju dengan apa yang mereka rasakan. Ya, saya juga senang. Tapi, tunggu, ada sebagian kecil dari diri saya yang justru ingin mengatakan: rutinitas ini tinggal berlangsung separuh jalan dan segalanya akan segera berakhir. Ada sesuatu yang mencegah endorfin saya tereksitasi sepenuhnya dan merasa bahagia seutuhnya.

*  *  *

Enam bulan di tanah rantau boleh dianggap sebagai sebuah prestasi bagi anak rumahan seperti saya. Sejak kecil saya terbiasa dengan ingar-bingar Jakarta, ibu kota yang menawarkan berbagai kemudahan di setiap sudutnya. Kemudian, setelah 23 tahun tidak pernah meninggalkan teritori yang sama, saya dipaksa keluar dari zona nyaman itu. Untungnya, kedua orang tua saya sudah mengajarkan kemampuan bertahan hidup dasar sejak kecil. Yang saya khawatirkan hanyalah ketakutan saya menghadapi konversi situasi ini. Sudah kodratnya bahwa seorang plegmatis cenderung menikmati sesuatu yang konstan ketimbang dihadapkan pada hal yang dinamis.

Tapi rupanya kekhawatiran saya tidak tinggal terlalu lama. Saya bisa beradaptasi di sini, bahkan cenderung menikmati semua ini. Tinggal di kota kecil dengan segala keterbatasannya justru membuat saya bisa menemukan hal-hal baru yang sulit didapatkan di metropolitan sana. Tenang, saya tidak akan bicara tentang nilai-nilai filosofis yang saya temukan dari hasil kontemplasi di tempat ini. Saya juga bukan mau berbagi cerita FTV yang sempat terjadi di sini. Lupakan dongeng tentang anak kota yang datang ke desa kemudian menemukan cinta sejati dalam diri pemuda desa yang lugu. Itu semua hanya rekaan penulis skenario yang dikejar deadline oleh rumah produksinya, oke?

Saya tidak menemukan sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritualitas, seperti cakra atau moksha, di tempat ini. Kebahagiaan pertama saya justru didapatkan dari hal yang sangat duniawi: durian! Dia sukses menumbuhkan kecintaan saya yang pertama pada Lebong. Beberapa waktu lalu tempat ini dibanjiri buah bundar berduri itu. Tentu saja kami tidak mau ketinggalan larut dalam pesta musiman tersebut. Hampir tiada hari kami lewati tanpa mencicip onggokan daging buah berwarna kuning mentega. Sayangnya, saya kembali dibuat patah hati begitu musim durian perlahan-lahan usai.

 

It's said an apple a day keeps the doctors away. But, a durian a day keeps these internship doctors stay. We don't want this season to end :"(
It’s said an apple a day keeps the doctors away. But, a durian a day keeps these internship doctors stay. We don’t want this season to end :”(

Saya tinggal di sebuah rumah dinas yang berdampingan dengan permukiman padat penduduk. Saat kami datang pertama kali ke rumah ini, kami langsung disambut oleh bocah-bocah yang tampak begitu antusias. Mereka menaruh perhatian ekstra pada setiap gerak-gerik kami. Pada apa yang kami pakai, apa yang kami bawa, apa yang kami makan, bahkan pada setiap detail yang kami lakukan di rumah ini. Awalnya mereka hanya menjadi pengamat misterius sekaligus pemerhati ulung. Sesekali mereka cekikikan dan berkomentar dengan bahasa Rejang di balik tembok rumah. Setiap kami dekati dan ajak berinteraksi, mereka berlarian kabur–entah ketakutan betulan atau hanya karena malu. Tapi semua kepalsuan itu tidak berlangsung lama. Bocah-bocah cilik itu mulai menampakkan wajah aslinya tak berapa lama kemudian. Dari yang tadinya malu-malu, sekarang menjadi “brutal”.

Kami lantas menjadi akrab. Dimulai dari mengajak mereka menonton DVD kartun, main layangan atau bulutangkis di lapangan, sampai memberikan les privat. Saya bahkan tidak bisa menghitung jumlah mereka secara keseluruhan, terlalu banyak. Suatu hari, ketika kami sedang tidur siang, saya mendengar suara ketukan di pintu, tetapi tidak ada siapapun. Ketika melihat ke arah bawah pintu, ada buket bunga tergeletak di sana lengkap dengan secarik kertas. Buketnya tidak indah, hanya potongan-potongan bunga rumput yang diikat dengan tali rafia kumal. Kartu ucapannya juga bukan dari karton mahal seperti yang lazim ditemui di toko buku. Hanya robekan buku tulis yang dihiasi crayon warna-warni dan coretan khas anak kecil. Tidak dibuat-buat. Apa adanya. Begitu membaca kertas itu, saya langsung luluh. Isi suratnya tidak panjang, hanya ucapan terima kasih karena kami mau bermain bersama mereka. Terima kasih atas acara makan bersama yang kami adakan waktu itu. Terima kasih atas waktu yang kami luangkan untuk mengajari mereka Matematika dan Bahasa Inggris. hari-hari berikutnya, surat dan buket bunga serupa terus bermunculan dari anak-anak lain.  Apa yang kita kira sederhana ternyata bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi penerimanya!

Beautiful flower bouquet from teman-teman sepermainan. Thank you Kia & Marni :*
Beautiful flower bouquet from teman-teman sepermainan. Thank you Kia & Marni :*

Saat ini, walaupun tidak rutin, acara bermain dan menonton DVD sudah kami ganti dengan kegiatan belajar. Di tengah proses belajar itu, saya menyadari satu hal. Anak-anak ini tidak seberuntung mereka yang tinggal di kota. Entah salah siapa. Seorang anak yang sudah duduk di kelas 1 SMP bahkan masih kesulitan menghafal perkalian 9 padahal katanya anak ini selalu menjadi juara di kelasnya. Saya kecewa. Tapi di satu sisi ada dorongan untuk membantu mereka mengejar keterlambatannya. Saya ingin 20 tahun lagi, ketika bertemu kembali, mereka sudah menjadi “orang”. Setidaknya dorongan itu menjadi salah satu pemicu semangat saya selama terperangkap di tempat ini.

bocah

Durian dan bocah-bocah itu hanyalah dua dari sekian banyak hal yang membuat saya kerasan di tempat ini. Ada beberapa hal lain yang turut menyumbangkan bongkahan rasa nyaman yang pelan-pelan mulai saya rasakan. Disini hidup berjalan lambat. Tapi terkadang itu cukup menguntungkan buat saya. Sejak masih koas, saya selalu membayangkan bahwa masa internsip ini akan menjadi salah satu masa yang paling menyenangkan. Tidak ada tekanan yang begitu berarti dan saya bisa melakukan hal-hal yang saya cintai. Menulis, tentu saja, masuk ke dalam daftar proyek pribadi yang harus saya kerjakan selama mengisi masa ini.

Maka dari itu, ketika saya disadarkan bahwa waktunya tinggal 6 bulan lagi, saya sedikit gamang. Itu artinya saya hanya punya 180 hari lagi untuk merampungkan proyek-proyek yang tertunda–bahkan hampir belum tersentuh selama disini! Yang paling mengerikan adalah, mengetahui kenyataan bahwa 6 bulan lagi saya akan dikembalikan ke dunia nyata, the real jungle! Tidak ada lagi ikatan dinas berkedok pendidikan, tidak ada lagi waktu bersantai dan tidak memikirkan masa depan. Lagi-lagi, sebagai plegmatis saya dihinggapi kekalutan yang sama ketika akan terjun dalam dunia yang baru.

Tapi toh, saya bisa meminjam pandangan teman-teman yang berbeda dengan saya. Semuanya masih 6 bulan lagi. Masih banyak waktu yang bisa digunakan untuk menyelesaikan proyek-proyek personal dan berhenti berpikir sejenak tentang masa depan yang menyeramkan. Saya belum mau repot-repot menggantikan bongkahan rasa nyaman ini dengan luapan kegelisahan yang tak tentu. 🙂

Tinggalkan komentar