Buku · Review

Tenggelam di Relung Rasa Raisa

Relung Rasa Raisa

 

 

 

 

Judul: Relung Rasa Raisa

Pengarang: Lea Agustina Citra

Penerbit: PlotPoint

Tahun Terbit: 2014

Tebal: 320 halaman

Harga: Rp 49.000,00

ISBN: 978-602-9481-54-9

 

 

 

Semua butuh kesempatan kedua, begitulah tagline yang terpampang di halaman muka Relung Rasa Raisa. Namun, bagaimana jika perjalanan meraih kesempatan itu terlalu menyakitkan untuk dilewati? Tak pelak kita pun harus memilih: bertahan atau menyerah begitu saja. Melalui buku ini, Raisa Nathaya Candrakirana akan mengajak kita menyelami kedalaman relung rasanya. Plus, memberikan pelajaran bahwa kepahitan masa lalu bukanlah alasan untuk berhenti maju.

Demi menyelamatkan eksistensi kantornya, Raisa—editor senior di AhA Publishing—rela melakukan perjalanan panjang ke Negeri Hitler. Sayang, agenda kerjanya yang telah disusun rapi harus bubar di tengah jalan. Misi untuk mendapatkan hak terbit Cedar Incense—novel best seller tentang kerusuhan Mei 1998 karya Jan Marco—ternyata mengantarkan Raisa pada konflik-konflik yang pelik. Di saat bersamaan, tatanan kehidupan yang telah dibangunnya dengan susah payah juga terpaksa mengalami perombakan total—setelah keping-keping masa lalunya mendadak muncul melalui sosok Augusto Caesar Soeprobo.

Otomatis, target Raisa kini tidak lagi sebatas mengikuti Frankfurt Book Fair, berburu copyrights buku-buku bermutu, dan pulang dengan kontrak bernilai ratusan juta rupiah. Ia harus bergelut dengan kompleksitas kehidupan pribadinya. Raisa pun harus memilih antara memperbaiki masa lalu atau terus mengabaikan takdir itu.

 * * *

Pada dasarnya, saya mudah sekali dibuat jatuh cinta dengan penulis yang mengusung tema-tema ’98. Dan sepertinya buku ini, walaupun dikemas secara ringan dan superfisial, mampu menambah daftar fiksi-sejarah favorit saya. Penulis berhasil menyisipkan peristiwa ’98 dengan nuansa “pop”, tanpa mementahkan esensi dari tragedi itu sendiri. Momen-momen yang direka dalam Cedar Incense terasa nyata dan tidak mengada-ada.

Itulah yang selalu saya kagumi dari Lea Agustina Citra. Dedikasinya dalam melakukan riset selalu melahirkan informasi-informasi yang akurat dan bernilai. Hebatnya lagi, ia mampu mengolah data-data mentah tersebut menjadi fiksi yang mudah dicerna. Dalam buku ini, kematangan observasi Lea dibuktikan melalui pendeskripsian latar yang begitu apik. Jerman—khususnya kota Aachen—tidak hanya menjadi tempelan belaka, tetapi juga ornamen penting yang menghias cerita.

Saya juga dibuat terkesan dengan kepiawaian Lea memilih diksi-diksi “ajaib”. Ia memadankan kata-kata tak lazim menjadi ungkapan baru yang bukan cuma nyaman didengar, melainkan juga sukses memancing tawa segar. Sepintas, kita bisa menemukan ruh teenlit yang dinamis di dalam roman dewasa muda ini.

Meskipun titik berat cerita ada pada tokoh Raisa, margin novel ini tidak lantas menjadi sempit. Relung Rasa Raisa adalah kisah yang multikonflik. Buku ini tidak cuma berbicara urusan mengejar cinta, tetapi juga friksi-friksi yang menyertainya. Misalnya, perjuangan Raisa memulihkan kondisi perusahaan yang kritis atau upaya Jan Marco bangkit dari kenangan yang traumatis. Potongan-potongan intrik itu dijalin rapi hingga tersimpul pada satu benang merah yang sulit diterka.

Masih tentang adegan dan konflik. Pada beberapa bagian terdapat koinsidensi yang terkesan klise dan mengambang, seperti hubungan antara Lilo-Caesar dan Caesar-Jan Marco. Selain itu, relasi antara Raisa dan Caesar seperti ada missing link yang belum tuntas. Sebagai pembaca, saya merasa diseret begitu saja ke masa lalu mereka tanpa mendapat peringatan sebelumnya. Antiklimaks.

Ada pula hal-hal dalam buku ini yang menabrak logika saya. Mana mungkin cinta bisa kembali hanya dalam waktu tujuh hari? Mana mungkin cowok yang sedang marah besar bisa luluh hanya karena tangisan perempuan? Mana mungkin … oke, abaikan. Anggap saja ini murni skeptisisme saya pribadi.

Omong-omong tentang skeptis, Raisa diceritakan sebagai perempuan yang tidak menaruh percaya akan cinta. Menurut saya, penggambaran bagian tersebut masih kurang kentara. Begitu juga dengan deskripsi karakter Caesar sebagai preman sekolah. Caesar terlalu manis untuk dijadikan anak nakal. Saya mengharapkan sosok bad boy yang lebih liar. Penjiwaan karakter terhebat jatuh pada Jan Marco. Ia adalah tokoh yang paling menjebak sekaligus memberikan efek twist terdahsyat!

Ganjalan terakhir dalam buku ini adalah keberadaan dialog yang inkonsisten serta kalimat bersayap yang membingungkan. Beberapa dialog tidak luwes dan kurang renyah untuk dilafalkan. Pun, sama halnya dengan kalimat majemuk yang kelewat panjang, seperti ini:

Segala keluhannya terhadap angin dan cuaca dingin yang menyambutnya begitu turun keluar dari bandara Rhein-Main serta jetlag yang dialami setelah dua belas jam lebih perjalanan dan hanya dibalas oleh merem-merem ayam di hotel luruh seketika. (hlm. 11-12)

Seandainya Dru tidak harus jaga kandang—dan melakukan segala upaya agar data penjualan buku yang sedang merosot melebihi anjloknya harga saham-saham di Wall Street pasca penyerangan WTC 9/11, tidak mencuat ke permukaan, sehingga orangtua Dru sebagai penyandang dana menarik semua saham mereka di AhA—mungkin sekarang Raisa bisa santai karena bisa bergantung pada kelincahan kemampuan marketing Dru. (hlm. 14)

Pingsannya pun bisa dibilang cuma sebentar, hanya dari ketika kepalanya tertimpa bola, ia jatuh dan keningnya terantuk lapangan, dan sampai sekitar lima belas menit yang lalu saat Caesar membopongnya sampai ke dalam UKS. (hlm. 131)

 

Secara keseluruhan, novel ini terbilang menarik dan memikat. Penasaran? Jajal sendiri bukunya dan bersiaplah tenggelam di dalam Relung Rasa Raisa!

5 tanggapan untuk “Tenggelam di Relung Rasa Raisa

  1. Review ini membuktikan bahwa logika erat kaitannya dengan pengalaman ya. Pengalaman penulis buku dan penulis review–tentang cinta yang kembali dalam tujuh hari dan lelaki yang berhenti marah karena si perempuan menangis–jelas berbeda. Saya secara pribadi lebih sepengalaman dengan penulis buku. 😀

Tinggalkan komentar