Kicau Kacau

Perihal Kematian dan Yang Hidup  

Menyaksikan kematian ibarat membaui aroma karbol rumah sakit. Awalnya tidak suka, lantas—mau tidak mau—mulai terbiasa. Mungkin ada puluhan kematian yang sudah saya hadapi.

Waktu mengalami kematian yang pertama, saya sampai ketakutan seperti melihat setan. Bulu kuduk saya meremang setiap kali mendengar surat Yasin dibacakan. Badan saya gemetar ketika tanda-tanda sakratul maut mulai kelihatan. Lisan saya bahkan mendadak gagu waktu diminta memvonis ketiadaan.

Puncaknya, saya tidak bisa tidur nyenyak berhari-hari karena dibayangi oleh adegan pembungkusan jenazah. Saat itu kematian terasa sangat menyeramkan. Menyeramkan dalam konteks ketakutan terhadap hantu atau hal-hal yang bersifat gaib. Penakut, memang.

Beberapa tahun setelahnya, ternyata saya semakin akrab dengan kematian. Saya tidak lagi bergidik ngeri ketika melihat seseorang meregang nyawa. Saya bahkan sudah berani membantu ritual pengikatan dan pembungkusan jenazah. Saya mulai terlatih menghadapi kematian.

Yang masih harus saya pelajari hingga saat ini adalah berhadapan dengan perpisahan. Saya masih tidak kuat saat mendengar jerit tangis mereka yang ditinggalkan. Lidah saya masih ngilu ketika harus mengabarkan kematian. Percayalah, ini semua tidak semudah apa yang terlihat di layar kaca. Aktor berseragam dokter itu membuat segalanya terlihat lebih enteng. Hanya perlu memasang mimik pilu, menggelengkan kepala perlahan, lalu mengeluarkan kalimat sakti “Maaf, kami sudah berusaha maksimal, tapi … ah sudahlah.” Nyatanya, walaupun telah mengantongi kompetensi breaking bad news, saya toh tetap gugup setiap kali mempraktikkannya.

Tangisan dan histeria akibat kematian memang selalu menciptakan kekalutan. Tetapi, dari semua episode perpisahan, pemandangan yang paling membuat saya mencelus adalah wajah-wajah yang diselimuti ketabahan. Lanjutkan membaca “Perihal Kematian dan Yang Hidup  “