Kicau Kacau

Sugesti Profesi

Hari minggu adalah hari yang paling dilematis bagi saya. Pasalnya, hari itu merupakan jadwal kontrol kawat gigi–yang telah melekat selama 7 tahun!–di tempat antah berantah. Wajar saja jika saya menjadi sangat malas untuk membereskan urusan perbehelan ini. Selain tempatnya yang jauh dan waktu menunggu yang sangat lama, ada satu alasan yang semakin memberatkan hati saya. Sikap sang dokter gigi yang kadang mengecewakan. Bagaimana tidak? Seringkali beliau cuma mengganti karet behel tanpa melakukan perubahan yang signifikan terhadap pergerakan gigi geligi ini. Padahal,  beliau tahu betul jika saya tidak bisa kontrol rutin setiap bulan. Terlebih lagi, dia biasanya bekerja dalam diam. Begitu misterius.

Tidak jarang saya kecewa berat setiap kali pulang dari dokter gigi. Sudah jauh-jauh dan memakan waktu, tapi tetap tidak ada progress nyata. Jangankan memberikan harapan bahwa behel ini akan segera dilepas, menjelaskan tindakan yang baru dilakukan saja sangat jarang terjadi. Saya jadi kesal. Padahal saya berharap ketika datang, saya diberikan informasi soal keadaan gigi saya saat ini, tindakan yang dia berikan, serta prognosis ke depannya.

***

Ketika baterai laptop dan ponsel saya rusak, saya sempat berandai-andai. Bagaimana jika saya membawa kedua peranti elektronik tersebut ke tempat reparasi, sang reparator tanpa memeriksa langsung menganjurkan untuk membeli baterai baru. Jengkel tentu pasti karena sang reparator tidak dapat menunaikan profesinya dengan baik dan benar. Setidaknya kalau memang sudah tidak bisa diperbaiki, dia bisa pura-pura mengecek dulu, toh?

***

Beberapa waktu lalu saya melakukan penyuntingan artikel untuk keperluan Ujian Kompetensi Reporter Junior di organisasi jurnalistik yang saya ikuti. Agaknya saya melakukan sebuah kelalaian pada hari itu. Saya memang menyampaikan semua masukan dan sedikit ilmu yang saya tahu kepada adik kelas yang menjadi target operasi tersebut. Tapi, hanya secara lisan. Saya–karena begitu malas bergerak di kala liburan–tidak terlalu banyak memberikan “coretan” di atas artikel yang dia buat. Hm, ya, idealnya seorang editor atau redaktur memang mencoret-coret tulisan reporter: membenarkan EYD, memberikan pilihan diksi, atau sekedar menuliskan opini pribadi.

Tapi waktu itu saya hanya melakukan sedikit aksi, hanya menggarisbawahi kalimat yang terasa tidak efektif atau melingkari ejaan yang tidak tepat. Saya pikir akan lebih efektif jika saran dan masukan diberikan secara lisan ketimbang tulisan–apalagi untuk kasus-kasus artikel yang tak bisa terselamatkan alias harus dirombak total. Ternyata “saya pikir” itu salah. Bahasa lisan memang mampu menjelaskan segalanya dengan lebih mudah dan minim ambigu. Tapi, dalam kasus ini bahasa lisan sepertinya tidak cukup berhasil memuaskan adik kelas saya itu. Ketika selesai, dia pergi membawa artikelnya dengan raut wajah seperti ada yang masih mengganjal.

Saya lantas berpikir apa yang salah dengan bincang-bincang tiga puluh menit tadi. Setelah mengeksklusi semua kemungkinan, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Seharusnya saya memberikan lebih banyak coretan di kertas itu. Dengan begitu, tentu prosesi edit bersama itu akan lebih berasa ‘feeling‘nya bagi si adik kelas. Tindakan kecil bisa membawa sebuah perubahan yang besar, kalimat itu ada benarnya juga.

Mencoret-coret tulisan reporter bukan berarti menunjukkan superioritas sosok redaktur, bukan pula menjadi ajang pamer senioritas. Memang cukup menyakitkan melihat tinta merah menggenangi kalimat-kalimat yang dibuat dengan susah payah. Tapi sepertinya hal itu jauh lebih esensial ketimbang menerima artikel–yang katanya sudah diedit–dalam bentuk polos dan bersih.

***

Ada satu benang merah yang dapat saya ambil dari ketiga kasus di atas. Saya menyebutnya “sugesti profesi”. Menurut saya, menunaikan sebuah profesi tidak hanya melakukan apa yang kita kuasai dengan baik dan benar. Sebuah profesi akan menjadi lebih bermakna ketika kita–apapun profesinya–mampu memuaskan konsumen yang menggunakan “jasa profesional” kita, memenuhi apa yang menjadi keinginan sekaligus kebutuhan konsumen. Dan memuaskan kebutuhan itu tidak melulu berarti “yang penting tindakan saya tepat, tidak peduli penyajiannya seperti apa“. Seringkali pada beberapa kasus, konsumen tidak begitu memerhatikan tindakan, tetapi penyajiannya. Konsumen perlu diberikan basa-basi, diberikan sugesti bahwa ia telah memilih seorang profesional yang tepat.

Maka, saya jadi paham mengapa dosen-dosen saya selalu menekankan pentingnya membangun empati kepada pasien. Saya jadi mengerti esensi memberikan penjelasan panjang lebar di depan pasien atau keluarganya. Sebab pasien tidak akan peduli seberapa akurat hubungan antara teori dan praktik yang kita lakukan. Sebab pasien tidak akan mengerti apakah kita telah mengikuti guideline dengan sempurna atau tidak. Sebab pasien hanya ingin memahami apa yang terjadi pada dirinya, mengetahui perjalanan penyakitnya, atau sekedar mendapatkan informasi tentang obat-obat yang diresepkan kepadanya.

Saya juga jadi tidak heran lagi dengan rumor tentang seorang dokter yang dapat menyembuhkan pasien tanpa anamnesis atau pemeriksaan lainnya, melainkan hanya dengan berbekal sebait sapaan dan segurat senyum. Sugesti profesinya berhasil!

Tinggalkan komentar